Menu

Tuesday, May 16, 2017

Induksi Ketahanan Tanaman (Menggunakan Bahan Kimia)



Penyakit tumbuhan merupakan masalah utama dalam proses budidaya tanaman dimana terjadi proses penyimpangan fisiologis tanaman dari keadaan normalnya (Semangun, 2006). Perubahan fisiologis tanaman dapat mengganggu pertumbuhan, reproduksi serta nilai ekonomis dari suatu tanaman (Yudiarti, 2012). Untuk mengendalikan penyakit tumbuhan telah dilakukan banyak cara, cara yang paling banyak digunakan adalah dengan penggunaan pestisida anorganik. Penggunaan pestisida anorganik sebagai cara pengendalian penyakit tumbuhan telah dilakukan sejak lama dan berkelanjutan. Pestisida anorganik sulit terdegradasi oleh alam sehingga memberikan dampak yang berbahaya bagi lingkungan. Selain masalah tersebut, penggunaan pestisida anorganik juga menginduksi strain tahan dari mikroba terhadap pestisida yang digunakan (Sumardiyono, 2008), sehingga penggunaan pestisida selalu ditingkatkan dan pada akhirnya menimbulkan ketidakseimbangan mikroba tanah dan juga membutuhkan biaya yang tinggi (Hewidy et al., 2003). Selain dampak pada lingkungan alam, petisida juga dapat berdampak pada penggunanya, yaitu manusia karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti kangker, gangguan fungsi saraf, kejang, gangguan reproduksi serta kerusakan organ penting pada manusia (Yuantari, 2011).
Selain pestisida, adapula bahan kimia ramah lingkungan yang juga diketahui memiliki peran secara tidak langsung dalam menghambat perkembangan patogen melalui suatu mekanisme yang dikenal dengan induksi ketahanan tanaman. Induksi ketahanan menyebabkan kondisi fisiologis yang mengatur sistem ketahanan menjadi aktif dan atau menstimulasi mekanisme resistensi alami yang dimiliki oleh inang dengan pengaplikasian bahan penginduksi eksternal. Menurut Da Rocha & Hammerschmidt (2005) beberapa perlakuan dapat menginduksi ketahanan tumbuhan. Induksi ketahanan ditandai dengan ekspresi pertahanan seperti phytoalexins dan respon hipersensitif (Hammerschmidt & Nicholson, 1999). Agrios (2005) juga menyatakan bahwa salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai bahan penginduksi eksternal (elisitor) adalah bahan kimia.
Penggunaan bahan kimia ramah lingkungan sebagai elisitor telah banyak dilakukan, diantaranya oleh Abdel-Monaim (2011) yang menggunakan Riboflavin dan Thiamin untuk mengendalikan penyakit busuk arang pada tanaman kedelai. Ahn et al., (2005) menguji thiamin untuk meningkatkan ketahanan tumbuhan. Berdasarkan hal diatas maka penulis tertarik untuk menulis sebuah makalah dengan judul “Induksi Ketahanan Tanaman Menggunakan Bahan Kimia Ramah Lingkungan”. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi bagi para pengambil kebijakan dan peneliti untuk menentukan pengendalian berbasis bahan kimia yang tepat.

Ketahanan Tanaman
Tanaman sebagai mahluk hidup memiliki kemampuan untuk mempertahankan dirinya dari gangguan seperti penyakit dan gangguan lainnya. Hal ini dikenal sebagai ketahanan tanaman. Tanaman melakukan reaksi terhadap serangan yang didapat dari patogen. Berdasarkan kemampuan mempertahankan diri terhadap patogen, ketahanan dapat dibagi menjadi ketahanan umum atau ketahanan poligenik dan ketahanan spesifik atau juga ketahanan monogenik (Semangun, 2006).
Ketahanan umum juga dikenal sebagai ketahanan horizontal, ketahanan ini tidak spesifik terhadap ras tertentu dan umumnya dianggap poligenik. Tanaman yang memiliki ketahanan ini dapat terinfeksi oleh patogen tetapi tingkat kemajuan penyakit dan ekspresi gejala tidak terlalu signifikan dibanding tanaman rentan. Crute & Norwood (1981) menemukan bahwa karakteristik resistensi tipe ini menunjukkan kejadian penyakit lebih rendah, adanya pembatasan infeksi ke bagian lain, lesi lebih sedikit dan kecil serta mengurangi tingkat perkembangan penyakit dibanding tanaman rentan. Menurut Semangun (2006), ketahanan horizontal memberikan ketahanan yang tidak begitu tinggi, ketahanan ini diturunkan dari banyak gen (poligenik), ketahanan ini diduga bekerja sebelum dan sesudah patogen masuk kedalam tanaman.
Ketahanan spesifik atau ketahanan monogenik adalah ketahanan yang efektif terhadap beberapa ras fisiologi atau strain patogen dan tidak menyebabkan ketahana terhadap ras-ras lain. Ketahanan ini sering juga dikenal sebagai ketahanan vertikal. Ketahanan gen spesifik pada tanaman inang umunya memberikan perlindungan jangka pendek. Hal ini terjadi karena terjadi seleksi varian atau ras patogen yang mampu menyerang tanaman yang pada awalnya tahan tersebut. Menurut Semangun (2006), ketahanan vertikal ini ada karena peranan gen tertentu yang sangat besar, sering kali dikatakan sebagai gen ketahanan utama. Mauch-Mani (2007) menerangkan bahwa ketahanan  ini berdasarkan pada interaksi spesifik antara produk-produk dari avirulen  (AVR) gen dalam patogen dan gen resistensi (R) pada inang. Telah banyak studi genetik terhadap pathosystems tanaman yang menunjukkan bahwa hasil perlawanan berbeda ketika AVR-R pasangan gen yang tepat hadir. Jika salah satu anggota dari pasangan gen tidak hadir atau tidak aktif tanaman inang menjadi rentan terhadap patogen.
Dasar molekuler untuk sistem seperti gen-for-gen dijelaskan oleh model elisitor-reseptor (Gabriel dan Rolfe, 1990), di mana gen AVR memicu produk yang dikenali oleh reseptor gen R yang sesuai. Pengenalan patogen memicu peristiwa transduksi sinyal berikutnya yang akhirnya mengarah pada aktivasi respon pertahanan yang pada akhirnya akan membatasi atau menghentikan masuknya patogen. Kebanyakan protein gen R menyebarkan sinyal umum, seperti leucine-rich repeats (LRR), dengan atau tanpa situs pengikat nukleotida (nucleotide binding site / NBS), leusin zipper (LZ), domain sinyal menyerupai jembatan dan reseptor transmembran interleukinl (interleukinl transmembrane receptors / TIR) ​​atau kinase domain (Baker et al., 1997).
Semangun (2006) menerangkan bahwa ketahanan vertikal ini pada umumnya hanya ditentukan oleh satu atau sedikit gen dimana akan memberikan ketahanan tingkat tinggi terhadap suatu rasa tau strain patogen namun ketahanan ini juga mudah patah jika ada rasa tau patogen baru yang virulen. Jika ketahanan patah, tanaman menjadi rentan terhadap patogen yang menyerangnya. Ketahanan vertikal beroprasi setelah patogen masuk kedalam tanaman inang dan sering terbentuk reaksi hipersensitif. Ketahanan ini dapat menunda terjadinya epidemi suatu penyakit atau menunda permulaan epidemi, namun jika epidemi terjadi, laju perkembangan akan serupa dengan yang terjadi pada tanaman rentan.

Induksi Ketahanan
            Induksi ketahanan merupakan suatu perlakuan yang menyebabkan ketahanan tumbuhan menjadi aktif sehingga dapat bertahan dari serangan penyakit. Menurut Faoro et al., (2008), induksi ketahanan menawarkan beberapa keuntungan penting yaitu: a) tidak didasarkan pada modifikasi genom tanaman; b) relatif murah; c) tidak memiliki risiko lingkungan dan toksikologi; d) efektif terhadap berbagai patogen tanaman.
Induksi ketahanan mengakibatkan perubahan dalam sel dari situs yang diinduksi yang memungkinkan sel-sel untuk secara cepat menyebarkan pertahanan. Ini adalah bagian dari perlawanan sistemik yang sekarang dikenal sebagai 'priming' (Conrath et al., 2002). Ketahanan tanaman terimbas / terinduksi dapat dipicu dengan pemberian mikroorganisme non patogen, patogen avirulen, patogen virulen yang gagal dalam proses infeksi karena kondisi yang tidak sesuai serta dapat juga terjadi akibat pemberian bahan kimia (Agrios, 2005). Selain pemberian berbagai bahan tersebut, perlakuan fisik terhadap tanaman dengan perlakuan menggunakan air panas juga dapat menginduksi ketahanan pada tanaman (Widiastuti et al., 2013). Ketahanan tanaman ini dapat diinduksi dengan pemberian berbagai bahan atau perlakuan seperti diterangkan diatas dengan suatu metode yang dikenal sebagai elisitasi. Menurut Barz et al. (1990), elisitasi merupakan teknik untuk menginduksi secara simultan pembentukan fitoaleksin, metabolit sekunder konstitusif atau metabolit sekunder lain yang secara normal tidak terakumulasi. Akumulasi ini dapat dipicu dengan menambahkan elisitor. Buitelaar et al., (1991) menyatakan bahwa elisitor merupakan suatu senyawa biologis atau senyawa non biologis yang dapat menyebabkan peningkatan senyawa fitoaleksin bila ditambahkan pada tumbuhan.
            Elisitor dapat direspon tanaman karena tanaman mempunyai sistem pengenalan terhadap pola molekul bahan dari luar yang menjadi  baris pertama dari respon imun bawaan. Sistem kekebalan tanaman membawa dua tingkat reseptor yang saling terkait, pertama molekul yang paling sering merasakan di luar sel dan molekul penginderaan lainnya di dalam sel. Kedua sistem tersebut merasakan penyusup dan meresponsnya dengan mengaktifkan pertahanan antimikroba pada sel yang terinfeksi dan sel tetangga. Dalam beberapa kasus, sinyal pengaktifan pertahanan menyebar ke seluruh tanaman atau bahkan ke tanaman tetangga. Kedua sistem mendeteksi berbagai jenis molekul patogen dan golongan protein reseptor tumbuhan (Jones & Dangl, 2006; Dodds & Rathjen, 2010)
Pengenalan tingkat pertama ini merupakan pola molekul terkait dengan elisitor, dikenal dengan pathogen / microbe associated molecular patterns (PAMPs atau MAMPs) (Boller and Felix., 2009 ; Schwessinger and Ronald, 2012). PAMPs atau MAMPs dikeluarkan oleh mikroba dan bukan oleh inang. Aktivasi reseptor pengenalan pola daerah permukaan sel (Receptor cell surface area pattern recognition /PRRs) menyebabkan sinyal intraselular, pemrograman ulang transkripsi, dan biosintesis dari respons keluaran kompleks yang membatasi kolonisasi. Sistem ini dikenal sebagai PAMP-Triggered Immunity atau sebagai Pattern-Triggered Immunity (PTI) (Jones & Dangl, 2006; Li et al., 2016).
Tingkat kedua diperintah oleh produk gen R, sering disebut kekebalan dipicu efektor (Efector Triggered Immunity / ETI). ETI biasanya diaktifkan dengan adanya "efektor" patogen tertentu dan kemudian memicu respons antimikroba yang kuat. Selain PTI dan ETI, pertahanan tanaman dapat diaktifkan dengan pola molekul endogenous terkait kerusakan (Demage associated molecular patterns / DAMPs), seperti bagian dinding sel tanaman yang dilepaskan selama infeksi patogen. pola molekul ini dilepaskan dari tanaman karena patogen luka atau mengalami kerusakan dan molekul yang dilepaskan berfungsi sebagai sinyal peringatan untuk memicu atau memperkuat respon pertahanan tanaman (Ma et al., 2013; Yamaguchi dan Huffaker, 2011).
PAMPs, MAMP dan DAMPs diketahui melalui reseptor pengenalan pola daerah permukaan sel (PRRs), yang sering disandikan oleh kinase menyerupai protein (RLKs) atau reseptor menyerupain protein (RLPs) oleh tanaman (Boller and Felix, 2009 ; Schwessinger and Ronald, 2012). Setelah pengenalan spesifik PAMPs, MAMPs atau DAMPs oleh PRRs, inang memunculkan serangkaian respon seluler dan perubahan fisiologis, seperti menghentikan Ca2+, alkalinisasi ekstraseluler, depolarisasi membran potensial, mengalirkan ion, produksi nitric oxide (NO), spesies oksigen reaktif (ROS), dan asam fosfatidat (PA), biosintesis etilen, deposisi callose, dan pemrograman ulang gen transkripsi secara menyeluruh, yang secara kolektif menghasilkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen, ledakan oksidatif, perubahan redoks seluler, atau aktivasi dari evolusioner MAP kinase (MPK) yang secara langsung mengaktifkan perubahan seluler (seperti penguatan dinding sel atau produksi antimikroba), atau mengaktifkan perubahan ekspresi gen yang kemudian meningkatkan tanggapan defensif lainnya (Boller and Felix., 2009 ; Schwessinger and Ronald 2012).
Ketahanan sistemik terinduksi dicirikan oleh akumulasi asam salisilat (SA) dan pathogenesis-related protein (PR-protein), misalnya peroksidase (Agrios 1997). Menurut Kloepper et al., (2004), ketahanan sistemik terinduksi (induced systemic resistance) bergantung pada kolonisasi sistem perakaran oleh mikrobia. Kolonisasi oleh mikrobia dapat terjadi melalui penyelubungan benih atau penambahan suspensi mikroba ke dalam tanah pada saat pindah tanam. Fenomena peningkatan ketahanan tanaman secara terinduksi dapat melalui proses SAR (Systemic Aqcuired Resistance) atau ISR (Induced Systemic Resistance) yang melibatkan berbagai jenis gen, enzim dan protein. Baik SAR maupun ISR sama-sama penting peranannya untuk meningkatkan ketahanan tanaman. Induksi ketahanan dapat dipacu oleh beragam bahan penginduksi (elisitor), baik hayati maupun kimia (Pieterse et al., 2009) perbedaannya dapat kita lihat pada gambar 1.

 Gambar 1. Perbedaan SAR dan ISR. Sumber. Pieterse et al. (2009)

Menurut Pieterse et al. (2009) peningkatan ketahanan tanaman melalui SAR terjadi setelah adanya infeksi patogen secara lokal pada tanaman, kemudian tanaman yang terinfeksi mengaktifkan gen-gen yang berperan dalam ketahanan (pathogenic related genes; PR) yang memproduksi senyawa-senyawa kimia untuk pertahanan tanaman, seperti asam salisilat (SA). Adanya elisitor dapat mengaktifkan secara cepat berbagai mekanisme ketahanan tanaman. Diantaranya akumulasi fitoaleksin dan peningkatan aktivias enzim kitinase, β-1,3-glukanase, dan β -1,4-glukosidase. Salah satu senyawa fenol yang sangat sederhana, 2-hydroxybenzoic acid atau asam salisilat, telah diketahui berperan penting sebagai molekul sinyal dari beberapa respon ketahanan tanaman (Smith-Becker et al. 1998). Banyak kondisi telah dijelaskan untuk menginduksi SAR serta protein terkait pertahanan. Khususnya, ekspresi gen PR-1 atau protein biasanya diambil sebagai penanda molekuler untuk menunjukkan bahwa SAR diinduksi.
Tanaman yang memiliki ketahanan terhadap infeksi patogen umumnya di kenali dengan adanya reaksi hipersensitif pada bagian daun yang diinokulasi. Gejala hipersensitif ditandai oleh terbentuknya gejala lesio lokal di daerah infeksi. Gejala ini terbentuk karena tanaman segera mengaktifkan program cell death agar patogen terlokalisir di sekitar sel yang terinfeksi dan tidak terjadi cell-to-cell movement ataupun long distance movement. Proses ini dimulai dari pengenalan inang terhadap patogen karena adanya gen AVR pada patogen dan gen R pada inang. Kemudian melalui serangkaian proses terbentuk pertahanan yang melibatkan gen ketahanan (Morel & Dangi, 1997).
Proses pengaktifan gen ketahanan ini melibatkan asam salisilat. Asam salisilat yang terbentuk tidak hanya berpengaruh di sekitar area infeksi namun juga ditranslokasikan ke bagian lain tanaman. Apabila tanaman yang sudah terinduksi ketahanannya, terinfeksi lagi oleh patogen lain maka tanaman akan dapat mempertahankan dirinya sehingga infeksi patogen tidak berkembang atau terlokalisasi akibat sel-sel tanaman di sekitar tempat infeksi mati. Kematian sel dalam proses tersebut biasa disebut sebagai reaksi hipersensitif (HR). Respon hipersensitif berawal dari terjadinya ledakan oksidatif yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan langsung melalui oksidasi molekul esensial patogen, stimulasi cross-linking antara komponen dinding sel dan kematian sel terprogram, yaitu sel mati melepaskan isinya ke dalam vakuola untuk mengurangi serangan sehingga sel-sel tetangga bertahan (Wojtaszek, 1997).
Menurut Ryals et al. (1996) dan Delaney (1997) menerangkan bahwa mekanisme SAR akan terjadi melalui tiga fase yaitu:
1.    Fase pertama: Fase induksi. Induksi dapat terjadi oleh adanya infeksi patogen atau faktor abiotik (bahan kimia), yang menyebabkan respon nekrosis yang terjadi terus menerus. Respon ini kemungkinan bisa berasosiasi dengan respon lokal lainnya seperti reaksi hifersensitif, pembentukan papilla, dll.
2.    Fase kedua: Fase sinyal. Bersifat sistemik, ditranslokasikan melalui floem, bisa dipindahkan melalui grafting/penyambungan dan berspektrum luas.
3.    Fase ketiga: Fase Ekspresi. Fase ini hanya akan terjadi jika terjadi infeksi berikutnya setelah infeksi awal, jika ini tidak ada, maka hanya terjadi mobilisasi tanpa diikuti ekspresi gen. Ekspresi gen ini dapat berupa bentuk ketahanan tanaman, bisa berupa ketahanan fisik/struktural, kimia, maupun genetik.
Menurut Huang (2001), mekanisme bagaimana asam salisilat dapat menginduksi SAR belum diketahui dengan pasti, namun ada beberapa hipotesis yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli yaitu:
1.    Hidrogen peroksida (H202) berperan sebagai second messenger dari asam salisilat dalam pensinyalan SAR. Hal ini diketahui dengan adanya asam salisilat binding protein, yang diidentifikasi sebagai katalase, ternyata mampu dihambat aktivitasnya oleh asam salisilat, yang diawali dengan konsentrasi H202 yang meningkat.
2.    H202 bertindak sebagai agen sinyal dari asam salisilat. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan konsentrasi H202 pada bagian daun tembakau yang tidak diinfeksi selama aktivasi SAR.
Huang (2001) kembali menjelaskan bahwa senyawa peroksida tersebut dimiliki oleh hampir semua tanaman tingkat tinggi yang merupakan hasil detoksifikasi tanaman terhadap oksigen reaktif yang berbahaya. Adapun reaksi penghasil senyawa peroksida tersebut adalah sebagai berikut:
Superoksida dismutase
2O2- + 2H+                                                        H2O2 + O2
Peroksidase
H2O2 + AH2                                         2H2O2 + A
Katalase
                H2O2                                                    H2O + ½ O2    

Akumulasi asam salisilat berhubungan erat dengan enzim yang merombak prekusor phenylalanine yaitu enzim phenylalanine ammonialyase (PAL). Pola aktivitas PAL diinduksi di petiol dan batang menunjukkan bahwa jaringan tersebut merespon pergerakan sinyal yang berasal dari daun yang diinokulasi. Peningkatan aktifitas PAL diduga karena peningkatan ekspresi gen untuk enzim dan/atau  terjadi penurunan produk asam transsinamat (Smith-Becker et al., 1998). Asam sinamat merupakan suatu inhibitor kuat kegiatan PAL yang bertindak untuk mempercepat berkurangnya enzim dan untuk menghambat produksi enzim (Shields et al. 1982). Salah satu kemungkinan adalah bahwa sinyal awal dari daun yang diinokulasi mengarah untuk aktivasi enzim atau kelompok enzim precursor PAL yang mengkonversi asam sinamat menjadi asam salisilat (Leon et al., 1993). Menurut Tsuge et al., (2004), PAL mengkatalisis deaminasi L-fenilalanin menjadi asam t-cinnamat, yang merupakan langkah pertama dalam jalur fenilpropanoid yang memasok prekursor untuk fenolat, lignin dan furanocoumarin, phytoalexins dan metabolit hilir lainnya, sedangkan peroksidase (POD) menurut Quiroga et al., (2000) mengoksidasi fenolat menjadi kuinon yang lebih beracun dan menghasilkan hidrogen peroksida. Langkah terakhir dalam sintesis lignin dan suberin telah diketahui merupakan hasil katalisis dari peroksidase.
Pemicu peningkatan ketahanan melalui ISR terjadi bukan karena infeksi patogen, tetapi oleh adanya infeksi mikrobia non patogen pada perakaran, seperti bakteri, jamur atau mikoriza bahkan oleh bahan lainnya. Respon tanaman terhadap adanya infeksi nonpatogen, tanaman akan memproduksi senyawa-senyawa pertahanan tanaman, seperti asam jasmonat (JA) dan senyawa etilen (ET). Ramamoorthy et al. (2001) memaparkan bahwa mekanisme ISR terjadi sebagai akibat perubahan fisiologi tanaman yang kemudian menstimulasi terbentuknya senyawa kimia yang berguna dalam pertahanan terhadap serangan patogen. Sumardiyono (2006) menyatakan bahwa perubahan fisiologi tersebut dapat berupa peningkatan senyawa fenol yang menjadi racun bagi patogen atau yang dikenal sebagai fitoaleksin atau berfungsi sebagai barrier struktural dengan membentuk konjugat fenol, lignifikasi dan atau suberisasi dinding sel.
Percobaan Verhagen et al., (2004) yang menguji ISR pada tanaman arabidobsis  menunjukkan bahwa tanaman yang mengekspresikan ISR dipastikan akan merespons lebih cepat dan / atau lebih kuat pada serangan patogen dibandingkan tanaman kontrol. Mayoritas gen prima diprediksi akan diatur oleh sinyal JA dan / atau ET. Priming adalah fenomena yang telah terbukti terkait dengan berbagai jenis induksi ketahanan (Conrath et al., 2002). Pada mekanisme ini, terjadi peningkatanan pengaktifan respons seluler yang cepat dan efektif begitu tanaman diserang oleh patogen, dan memungkinkan tanaman bereaksi lebih efektif terhadap patogen yang menyerang dengan meningkatkan pertahanan yang diaktifkan pada tanaman inang.
Tanda pensinyalan tanaman diaktifkan oleh reseptor pendeteksi patogen yang dijelaskan pada bagian di atas. Reseptor aktif sering menghasilkan produksi oksigen reaktif dan nitrit oksida, kalsium, kalium dan fluks ion proton, mengubah kadar asam salisilat dan hormon lainnya dan aktivasi kinase MAP dan kinase protein spesifik lainnya (Nurnberger et al., 2004; Dodds & Rathjen, 2010). Pada akirnya siklus ini akan mengaktifan ekspresi pertahanan (Li et al., 2016). Menurut Choudhary (2007), jalur yang diinduksi oleh asam salisilat dan asam jasmonat dicirikan oleh produksi PR- protein yang mencakup anti jamur (chitinases, glucanases dan thaumatins), dan enzim oksidatif (yaitu, peroksidase, oksidase polifenol dan lipoksigenase). Senyawa dengan berat molekul rendah dengan sifat antimikroba (phytoalexin) juga dihasilkan dari jalur tersebut.
Pieterse et al., (2014) menyatakan bahwa bahwa ISR dikaitkan dengan peningkatan akumulasi phytoalexin dan penebalan dinding sel di tempat infeksi patogen. Selain itu terjadi juga penahanan oleh asam absisat (ABA) untuk pengendapan callose selama ISR, dimana hal ini akan menyediakan lapisan perlindungan tambahan yang memperluas spektrum keefektifan ISR. Banyak patogen daun menyerang tanaman dengan masuk melalui stomata pada permukaan daun. ISR yang melindungi bagian tanaman yang tidak terinfeksi untuk memicu terjadinya penutupan stomata yang dipercepat sebagai respons terhadap serangan patogen (Kumar et al., 2012) dimana respon ketahanan menjadi penghalang struktural yang dapat menunda perkembangan penyakit. Knoester et al., (1999) menerangkan bahwa pensinyalan ET di dari bagian tanaman yang di induksi diperlukan untuk ekspresi ISR ​​di daun dan mungkin memfasilitasi pembangkitan atau translokasi sinyal ISR sistemik kebagian tanaman lainnya.

2.3.  Induksi Menggunakan Bahan Kimia ramah lingkungan
Induksi ketahanan oleh bahan kimia merupakan pendekatan yang menjanjikan untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh patogen (Okubara dan Paulitz, 2005). Berbagai macam senyawa alami atau sintetis dapat menimbulkan respon pertahanan pada tanaman. Aplikasi asam salisilat secara eksogen, atau analog fungsionalnya 2,6- dichloroisonicotinic acid (INA) atau benzo(1,2,3)thiodiazole-7-carbothioic acid Smethyl ester (BTH) menginduksi SAR dan mengaktifkan gen gen PR yang sama (Ryals et al., 1996; Friedrich et al., 1996; Sticher et al., 1997). Selain asam salisilat dan analognya, senyawa organik lainnya seperti molekul sinyal asam jasmonat, MeJa (metil jasmonat) dan etilen, asam lemak tak jenuh, asam baminobutirat, kitosan, nicotinamide, probenazole, harpin dan riboflavin memiliki aktivitas induksi ketahanan terhadap beberapa patogen (Schneider et al. 1996 ; Oostendorp et al, 2001; Yasioka et al. 2001; Gozzo 2003). Oostendorp et al. (2001) juga melaporkan bahwa Saccharin, sebuah metabolit probenazole, menginduksi ketahanan pada padi melawan Magnaporthe grisea dan Xanthomonas oryzae. Hasil penelitian White (1979), menunjukkan bahwa aplikasi eksogen asam salisilat (AS) dan turunan asam benzoat tertentu lainnya dapat menyebabkan resistensi terhadap TMV dan akumulasi protein PR. Menurut Xie & Chen (1998), aplikasi asam salisilat secara eksogen pada konsentrasi 1-5 mM sejauh ini diketahui menginduksi ekpresi gen pathogen related (PR) dan ketahanan melawan berbagai patogen mikroba.
Pada beberapa percobaan, ketahanan tanaman yang lebih baik ditunjukkan oleh bahan kimia sebagai inducer dibanding dengan kontrol. Hasil perobaan Buzi et al., (2004) menunjukkan pertumbuhan bibit melon yang diperlakukan dengan BTH dan MeJa yang diinokulasi dengan patogen telah menginduksi diferensial dari pathogenic related (PR) protein kitinase dan peroksidase. Dimana PR-protein adalah protein yang terinduksi oleh pemberian bahan kimia sebagai inducer. Protein tersebut terlibat dalam pertahanan aktif terhadap penyakit dan bisa memainkan peran kunci dalam membatasi pengembangan patogen dan menyebar pada tanaman (van Loon et al., 2006).
            Pengujian penggunaan bahan kimia sebagai elisitor selain menunjukkan penurunan index penyakit, pada percobaan yang dilakukan oleh Aleandri et al., (2010) menunjukkan bahwa perlakuan dengan penggunaan bahan kimia pada tumbuhan dapat meningkatkan aktifivitas pertahanan dengan mengaktifkan β1,3-glucanase, kitinase dan peroxidase (Gambar 2).




Gambar 2. Aktifitas pertahanan dengan induksi menggunakan bahan kimia dengan mengaktifkan
A. β1,3-glucanase, B. kitinase dan C. Peroxidase.
Sumber. Aleandri et al., 2010

Selain pengujian induksi ketahanan yang dilakukan oleh Aleandri et al., (2010) dengan menggunakan bahan kimia, masih banyak penelitian lain yang juga membuktikan penggunaan bahan kimia yang dapat menginduksi ketahanan tumbuhan, penelitian lainnya yaitu penggunaan bahan kimia berupa sakarin (2,3-dihidro-3-oxobenzoisosulfonazol) sebagai inducer pertama kali di coba oleh Siegrist et al. pada tahun 1998 (Boyle and Dale, 2005). Percobaan tersebut, menunjukkan bahwa sakarin yang diaplikasikan memberikan efek resistensi tembakau terhadap TMV, mentimun terhadap Colletotrichum lagenarium dan kacang Prancis melawan Uromyces appendiculatus (Siegrist et al., 1998) (data hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 1). Sakarin adalah metabolit probenazol, yang digunakan untuk mengendalikan Magnaphorthe grisea dan Xanthomonas oryzae pada padi, melalui induksi pertahanan inang (Oostendorp et al., 2001). Selain hasil penelitian Siegrist et al., (1998), pengujian sakarin sebagai inducer terhadap induksi ketahanan tanaman juga dilakukan oleh Boyle & Dale pada tahun 2005. Percobaan ini menguji ketahanan tanaman kacang panjang terhadap jamur karat. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa induksi ketahanan baru muncul pada hari ke 14 setelah diberi perlakuan menggunakan sakarin.
Tabel 1. Penekanan penyakit tanaman dengan metode induksi ketahanan menggunakan sakarin
Tanaman dan Perlakuan
Patogen
Penekanan Penyakit (%)
Tembakau
TMV

Sakarin (3 mM)‹

63,7
Timun
Colletotrichum lagenarium

Sakarin (1 mM)‹

79,1
Kacang Perancis
Uromyces appendiculatus

Sakarin (3 mM)‹

73,1
Sumber.   Siegrist et al., 1998

Asam salisilat yang merupakan sinyal pertahanan pada ketahan terinduksi juga diuji secara eksogen dengan pemberian asam salisilat sintetik sebagi inducer oleh Mandal et al., (2009) pada tanaman tomat terhadap penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp lyopersici. Pada penelitian ini diketahui bahwa senyawa asam salisilat tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan miselium jamur tersebut pada media PDA (Gambar 3).  Induksi ketahanan tanaman dicapai dengan memberikan 200 mM SA langsung ke bagian akar tanaman serta dapat juga dengan melakukan penyemprotan ke bagian daun. Induksi ketahan dengan pemberian asam salisilat ini terbukti dengan meningkatnya kandungan senyawa asam salisilat pada tanaman tomat yang diuji dibanding tanaman kontrol serta terjadi penekanan gejala kuning pada bagian vaskular dan daun tanaman tomat (Gambar 4) serta penekanan tingkat penyakit (Gambar 5).
Gambar 3. Pengaruh asam salisilat (SA) pada pertumbuhan miselium Fusarium oxysporum f. Sp lycopersici.  Koloni jamur dipelihara pada PDA yang diberi perlakuan 100, 200, 300 mM SA dan diameter koloni diukur pada hari ke 9 setelah inokulasi jamur
Sumber. Mandal et al., (2009)




Gambar 4. Pengaruh perlakuan asam salisilat 200 mM (SA) dan inokulasi Fusarium oxysporum f. Sp. Lycopersici (Fol) pada tomat yang tumbuh secara hidroponik. (A) Pencoklatan vaskular; (B) layu pada daun
Sumber. Mandal et al., (2009)



Gambar 5. Induksi resistensi pada tanaman tomat terhadap infeksi Fusarium oxysporum f. Sp lycopersici dengan pemberian pada akar (a) dan semprotan daun (b) dengan 200 mM asam salisilat.
Sumber. Mandal et al., (2009)

Penggunaan asam salisilat sebagai inducer ternyata tidak hanya berfokus pada asam salisilat murni, namun juga turunannya berupa Asam asetilsalisilat atau yang biasa dikenal dengan nama aspirin. Penggunaan aspirin sebagai bahan induksi telah lama digunakan yaitu pada tahun 1979 oleh White untuk menekan perkembangan TMV pada tanaman tembakau. Penggunaan aspirin yang di injeksi pada daun tanaman tembakau menurunkan jumlah lesi lokal hingga lebih dari 90% (White, 1979).

Akhir-akhir ini penggunaan bahan kimia sebagai inducer banyak dilakukan. Selain pengujian bahan kimia berupa asam salisilat dan turunannya, bahan kimia berupa vitamin juga diuji terhadap dampak induksi ketahanan tanaman. Salah satu yang dilakukan adalah pengujian thiamin (vitamin B1) dan Ribovlafin (vitamin B2) yang dilakukan oleh Abdel-Monaim (2011). Hasil percobaan menunjukkan penggunaan bahan kimia berupa Riboflavin dan Thiamin dapat menekan penyakit busuk arang yang disebabkan oleh Macrophomina phaseolina pada tanaman kedelai. Penggunaan Riboflavin dan thiamin dapat menekan penyakit busuk arang hingga mencapai 9,25% untuk riboflavin dan 5,25% untuk thiamin. Pengujian yang dilakukan oleh Abdel-Monaim (2011) selain menunjukkan penekanan terhadap penyakit busuk akar, juga menunjukan aktifitas dari reaksi ketahanan secara biokimia dari tanaman yang diperlakukan menggunakan bahan kimia. Reaksi yang diketahui yaitu meningkatnya reaksi dari peroxidase, polyphenol oxidase, peningkatan terhadap jumlah fenol total dan meningkatnya reaksi lignifikasi tumbuhan terhadap serangan patogen.
Selain Abdel-Monaim, penelitian induksi ketahanan dengan menggunakan vitamin yang berupa bahan kimia juga dilakukan oleh Boubakri et al., (2012) terhadap penyakit downy mildew pada tanaman anggur yang diserang oleh Plasmopara viticola. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan thiamin dapat meningkatkan ketahanan tanaman anggur yang diuji berdasarkan pada kejadian infeksi patogen dan gejala pada daun tanaman yang di induksi menggunakan thiamin dan diberi P. viticola (Gambar 6).

 Gambar 6. Pengaruh induksi ketahanan menggunakan thiamin pada tanaman anggur terhadap serangan P. viticola. A. gejala pada tanaman dan B. gejala pada daun
 Sumber. Boubakri et al., (2012)

Percobaan yang dilakukan ini juga menunjukkan bahwa thiamin memiliki efek langsung terhadap jamur P. viticola dimana perlakuan thiamin yang diujikan secara langsung terhadap jamur tersebut dapat menghambat perkecambahan (Gambar 7). Menariknya, bila diaplikasikan pada konsentrasi 30 mM (dosis yang digunakan pada percobaan rumah kaca pada gambar 6 di atas untuk menginduksi ketahanan tanaman), thiamin tidak sepenuhnya menghambat kemampuan perkecambahan sporangia patogen karena 43% sporangia P. viticola masih dapat berkecambah berkecambah.

Gambar 7. Efek langsung tiamin terhadap P. viticola. Efek langsung tiamin terhadap P. viticola diuji dengan mencampurkan 500 ml suspensi sporangia dengan 500 ml air (Kontrol negatif), 500 ml BABA (kontrol positif) dan 500 ml tiamin dengan berbagai konsentrasi kemudian diinkubasi selama 30 menit.
Sumber. Boubakri et al., (2012)

Selain penggunaan vitamin sebagai bahan kimia penginduksi ketahanan tanaman, baru-baru ini ahli perlindungan tanaman mencoba menggunakan bahan kimia berupa bahan pengawet makan yang sering digunakan dalam produk sehari-hari untuk menginduksi ketahanan tanaman. Diantara produk tersebut adalalah asam benzoat dan natrium benzoat. Kumar et al., (2003) mengkaji dalam percobaan lapangan pengaruh perendaman beberapa bahan kimia terhadap induksi ketahanan tanaman, dari hasil percobaan tersebut diketahui bahwa asam benzoat lebih baik daripada bahan kimia lainnya dalam mengurangi kejadian penyakit busuk batang dan tingkat keparahan pada padi yang disebabkan oleh Sclerotium oryzae yang diikuti oleh asam asetat naftalena dan SA.
Jauh sebelum penelitian yang dilakukan oleh kumar et al., pada tahun 2003, penelitian menggunakan asam benzoate telah dilakuka oleh Elad (1992). Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa asam benzoat meningkatkan aktivitas pengendalian pada daun tomat. Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Kataria et al., (1997) menunjukkan bahwa asam askorbat dan asam benzoat secara efisien mengendalikan penyakit damping-off  pada  Phaseolus vulgaries yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani.
Penelitian yang dilakukan oleh Fadel et al., (2006) menunjukkan bahwa penggunaan bebebrapa bahan kimia yang digunakan dapat menekan penyakit pada jagung yang disebabka Ustilago maydis, dimana pada penelitian ini menggunakan  asam salisilat, natrium benzoat dan kalium monofosfat. Dari percobaan ini, dapat diketahui bahwa penggunaan bahan kimia pengawet makan yang biasa digunakan pada produk makanan sehari-hari juga dapat digunakan sebagai bahan pengimbas ketahanan tanaman, dimana penggunaan natrium benzoate dapat menekan penyakit gosong bengkak pada jagung dibandingkan control.

Tabel 2. Pengaruh hari induksi tiga bahan kimia induser terhadap kejadian penyakit (%) dan tingkat keparahan penyakit (%) penyakit gosong bengkak pada tanaman jagung (cv. Balady) di rumah kaca.
Bahan kimia penginduksi
hari induksi (hari)
Kejadian penyakit (%)
Keparahan penyakit (%)
Asam salisilat
8
15,3
10,12
16
22,7
15,93
Natrium benzoate
8
12,0
9,37
16
9,3
6,34
KH2PO4
8
18,3
12,87
16
6,7
5,83
Kontrol
8
21,7
13,28
16
21,7
13,28

Dari keterangan penggunaan bahan kimia ramah lingkungan yang digunakan, dapat diketahui bahwa semua hasil pengujian bahan kimia tersebut dapat menunjukkan bahwa bahan kimia yang digunakan merupakan inducer yang dapat berperan sebagai elisitor dimana menurut Van Loon dan Van Strien (1999), elisitor akan mengaktivasi jalur transduksi sinyal umumnya sehingga menyebabkan produksi spesies oksigen reaktif (ROS), biosintesis fitoaleksin, penguatan dinding sel tanaman yang terkait dengan senyawa fenil propanoid, pengendapan callose, sintesis enzim pertahanan, dan akumulasi (PR) protein terkait pathogenesis dan beberapa yang memiliki sifat antimikroba. Selanjutnya Agrios (1988) menerangkan bahwa ROS menyebabkan respon hipersensitif (HR) pada tanaman yang merupakan kematian lokal atau kematian cepat satu atau beberapa sel di lokasi infeksi untuk membatasi pertumbuhan patogen. Setelah aktivasi HR, bagian distal yang tidak terinfeksi dapat mengembangkan resistensi terhadap infeksi lebih lanjut, fenomena ini yang dikenal sebagai ketahanan sistemik terimbas yang efektif terhadap beragam patogen, termasuk virus, bakteri, dan jamur (Heil and Bostock, 2002).

Kesimpulan
Dari keterangan yang telah disampaikan dapat ditarik kesimpulan bahwa pengendalian penyakit tumbuhan dapat dilakukan dengan cara mengaktifkan dan meningkatkan daya ketahanan atau reaksi ketahanan tanaman dengan menggunakan beberapa bahan penginduksi atau yang dikenal dengan elisitor. Diantara banyak elisitor salah satu jenis yang dapat digunakan berupa bahan kimia yang tidak berbahaya bagi lingkungan dan juga pelaku usaha tani yaitu dengan menggunakan bahan kimia ramah lingkungan seperti asam salisilat, BTH, aspirin dan turunan lainnya, vitamin seperti thiamin dan ribovlafin, bahan kimia yang digunakan dalam produks makanan sehari-hari seperti sakarin, asam benoat dan natrium benzoat. Terbukti dengan menggunakan elisitor berupa bahan kimia dapat menekan penyakit yang menyerang tanaman. Selain itu, penggunaan elisistor berupa bahan kimia juga dapat meningkatkan reaksi ketahanan biokimia tanaman berupa 1,3-glukanase, peroxidase, polyphenol oxidase, peningkatan terhadap jumlah fenol total dan meningkatnya reaksi lignifikasi tumbuhan terhadap serangan patogen. Dengan demikian penggunaan bahan kimia ramah lingkungan dapat digunakan menjadi salah satu alternatif dalam pengendalian penyakit tumbuhan untuk masa kini.

Saran
Penggunaan bahan kimia ramah lingkungan sebagai bahan penginduksi harus diuji terlebih dahulu untuk pengendalian penyakit tanaman, hal ini dikarenakan reaksi yang berbeda terhadap tanaman, penekanan penyakit dengan patogen yang berbeda dan bahan kimia serta jumlah yang digunakan dalam pengendalian.

perlu bahan PDF nya, silahkan klik di sini.