Penyakit
tumbuhan merupakan masalah utama dalam proses budidaya tanaman dimana terjadi
proses penyimpangan fisiologis tanaman dari keadaan normalnya (Semangun, 2006).
Perubahan fisiologis tanaman dapat mengganggu pertumbuhan, reproduksi serta
nilai ekonomis dari suatu tanaman (Yudiarti, 2012). Untuk mengendalikan
penyakit tumbuhan telah dilakukan banyak cara, cara yang paling banyak
digunakan adalah dengan penggunaan pestisida anorganik. Penggunaan pestisida anorganik
sebagai cara pengendalian penyakit tumbuhan telah dilakukan sejak lama dan
berkelanjutan. Pestisida anorganik sulit terdegradasi oleh alam sehingga
memberikan dampak yang berbahaya bagi lingkungan. Selain masalah tersebut,
penggunaan pestisida anorganik juga menginduksi strain tahan dari mikroba
terhadap pestisida yang digunakan (Sumardiyono, 2008), sehingga penggunaan
pestisida selalu ditingkatkan dan pada akhirnya menimbulkan ketidakseimbangan
mikroba tanah dan juga membutuhkan biaya yang tinggi (Hewidy et al., 2003). Selain dampak pada
lingkungan alam, petisida juga dapat berdampak pada penggunanya, yaitu manusia
karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti kangker, gangguan fungsi
saraf, kejang, gangguan reproduksi serta kerusakan organ penting pada manusia (Yuantari,
2011).
Selain
pestisida, adapula bahan kimia ramah lingkungan yang juga diketahui memiliki
peran secara tidak langsung dalam menghambat perkembangan patogen melalui suatu
mekanisme yang dikenal dengan induksi ketahanan tanaman. Induksi ketahanan
menyebabkan kondisi fisiologis yang mengatur sistem ketahanan menjadi aktif dan
atau menstimulasi mekanisme resistensi alami yang dimiliki oleh inang dengan
pengaplikasian bahan penginduksi eksternal. Menurut Da Rocha &
Hammerschmidt (2005) beberapa perlakuan dapat menginduksi ketahanan tumbuhan. Induksi
ketahanan ditandai dengan ekspresi pertahanan seperti phytoalexins dan respon hipersensitif (Hammerschmidt &
Nicholson, 1999). Agrios (2005) juga menyatakan bahwa salah satu bahan yang
dapat digunakan sebagai bahan penginduksi eksternal (elisitor) adalah bahan kimia.
Penggunaan
bahan kimia ramah lingkungan sebagai elisitor telah banyak dilakukan,
diantaranya oleh Abdel-Monaim (2011) yang menggunakan Riboflavin dan Thiamin
untuk mengendalikan penyakit busuk arang pada tanaman kedelai. Ahn et al., (2005) menguji thiamin untuk
meningkatkan ketahanan tumbuhan. Berdasarkan hal diatas maka penulis tertarik
untuk menulis sebuah makalah dengan judul “Induksi Ketahanan Tanaman
Menggunakan Bahan Kimia Ramah Lingkungan”. Diharapkan makalah ini dapat
memberikan informasi bagi para pengambil kebijakan dan peneliti untuk
menentukan pengendalian berbasis bahan kimia yang tepat.
Ketahanan
Tanaman
Tanaman
sebagai mahluk hidup memiliki kemampuan untuk mempertahankan dirinya dari
gangguan seperti penyakit dan gangguan lainnya. Hal ini dikenal sebagai
ketahanan tanaman. Tanaman melakukan reaksi terhadap serangan yang didapat dari
patogen. Berdasarkan kemampuan mempertahankan diri terhadap patogen, ketahanan
dapat dibagi menjadi ketahanan umum atau ketahanan poligenik dan ketahanan
spesifik atau juga ketahanan monogenik (Semangun, 2006).
Ketahanan
umum juga dikenal sebagai ketahanan horizontal, ketahanan ini tidak spesifik
terhadap ras tertentu dan umumnya dianggap poligenik. Tanaman yang memiliki
ketahanan ini dapat terinfeksi oleh patogen tetapi tingkat kemajuan penyakit
dan ekspresi gejala tidak terlalu signifikan dibanding tanaman rentan. Crute &
Norwood (1981) menemukan bahwa karakteristik resistensi tipe ini menunjukkan
kejadian penyakit lebih rendah, adanya pembatasan infeksi ke bagian lain, lesi
lebih sedikit dan kecil serta mengurangi tingkat perkembangan penyakit
dibanding tanaman rentan. Menurut Semangun (2006), ketahanan horizontal
memberikan ketahanan yang tidak begitu tinggi, ketahanan ini diturunkan dari
banyak gen (poligenik), ketahanan ini diduga bekerja sebelum dan sesudah
patogen masuk kedalam tanaman.
Ketahanan
spesifik atau ketahanan monogenik adalah ketahanan yang efektif terhadap
beberapa ras fisiologi atau strain patogen dan tidak menyebabkan ketahana
terhadap ras-ras lain. Ketahanan ini sering juga dikenal sebagai ketahanan
vertikal. Ketahanan gen spesifik pada tanaman inang umunya memberikan
perlindungan jangka pendek. Hal ini terjadi karena terjadi seleksi varian atau
ras patogen yang mampu menyerang tanaman yang pada awalnya tahan tersebut. Menurut
Semangun (2006), ketahanan vertikal ini ada karena peranan gen tertentu yang
sangat besar, sering kali dikatakan sebagai gen ketahanan utama. Mauch-Mani
(2007) menerangkan bahwa ketahanan ini
berdasarkan pada interaksi spesifik antara produk-produk dari avirulen (AVR) gen dalam patogen dan gen resistensi (R)
pada inang. Telah banyak studi genetik terhadap pathosystems tanaman yang menunjukkan bahwa hasil perlawanan
berbeda ketika AVR-R pasangan gen yang tepat hadir. Jika salah satu anggota
dari pasangan gen tidak hadir atau tidak aktif tanaman inang menjadi rentan
terhadap patogen.
Dasar
molekuler untuk sistem seperti gen-for-gen
dijelaskan oleh model elisitor-reseptor (Gabriel dan Rolfe, 1990), di mana gen
AVR memicu produk yang dikenali oleh reseptor gen R yang sesuai. Pengenalan
patogen memicu peristiwa transduksi sinyal berikutnya yang akhirnya mengarah
pada aktivasi respon pertahanan yang pada akhirnya akan membatasi atau
menghentikan masuknya patogen. Kebanyakan protein gen R menyebarkan sinyal
umum, seperti leucine-rich repeats
(LRR), dengan atau tanpa situs pengikat nukleotida (nucleotide binding site / NBS), leusin zipper (LZ), domain sinyal
menyerupai jembatan dan reseptor transmembran interleukinl (interleukinl
transmembrane receptors / TIR) atau kinase domain (Baker et al., 1997).
Semangun
(2006) menerangkan bahwa ketahanan vertikal ini pada umumnya hanya ditentukan
oleh satu atau sedikit gen dimana akan memberikan ketahanan tingkat tinggi
terhadap suatu rasa tau strain patogen namun ketahanan ini juga mudah patah
jika ada rasa tau patogen baru yang virulen. Jika ketahanan patah, tanaman
menjadi rentan terhadap patogen yang menyerangnya. Ketahanan vertikal beroprasi
setelah patogen masuk kedalam tanaman inang dan sering terbentuk reaksi
hipersensitif. Ketahanan ini dapat menunda terjadinya epidemi suatu penyakit
atau menunda permulaan epidemi, namun jika epidemi terjadi, laju perkembangan
akan serupa dengan yang terjadi pada tanaman rentan.
Induksi
Ketahanan
Induksi ketahanan merupakan suatu
perlakuan yang menyebabkan ketahanan tumbuhan menjadi aktif sehingga dapat
bertahan dari serangan penyakit. Menurut Faoro et al., (2008), induksi ketahanan menawarkan beberapa keuntungan
penting yaitu: a) tidak didasarkan pada modifikasi genom tanaman; b) relatif
murah; c) tidak memiliki risiko lingkungan dan toksikologi; d) efektif terhadap
berbagai patogen tanaman.
Induksi
ketahanan mengakibatkan perubahan dalam sel dari situs yang diinduksi yang
memungkinkan sel-sel untuk secara cepat menyebarkan pertahanan. Ini adalah
bagian dari perlawanan sistemik yang sekarang dikenal sebagai 'priming' (Conrath et al., 2002). Ketahanan tanaman terimbas / terinduksi dapat dipicu
dengan pemberian mikroorganisme non patogen, patogen avirulen, patogen virulen
yang gagal dalam proses infeksi karena kondisi yang tidak sesuai serta dapat
juga terjadi akibat pemberian bahan kimia (Agrios, 2005). Selain pemberian
berbagai bahan tersebut, perlakuan fisik terhadap tanaman dengan perlakuan
menggunakan air panas juga dapat menginduksi ketahanan pada tanaman (Widiastuti
et al., 2013). Ketahanan tanaman ini dapat diinduksi dengan pemberian berbagai
bahan atau perlakuan seperti diterangkan diatas dengan suatu metode yang
dikenal sebagai elisitasi. Menurut Barz et
al. (1990), elisitasi merupakan teknik untuk menginduksi secara simultan
pembentukan fitoaleksin, metabolit sekunder konstitusif atau metabolit sekunder
lain yang secara normal tidak terakumulasi. Akumulasi ini dapat dipicu dengan
menambahkan elisitor. Buitelaar et al.,
(1991) menyatakan bahwa elisitor merupakan suatu senyawa biologis atau senyawa
non biologis yang dapat menyebabkan peningkatan senyawa fitoaleksin bila
ditambahkan pada tumbuhan.
Elisitor dapat direspon tanaman
karena tanaman mempunyai sistem pengenalan terhadap pola molekul bahan dari
luar yang menjadi baris pertama dari
respon imun bawaan. Sistem kekebalan tanaman membawa dua tingkat reseptor yang
saling terkait, pertama molekul yang paling sering merasakan di luar sel dan
molekul penginderaan lainnya di dalam sel. Kedua sistem tersebut merasakan
penyusup dan meresponsnya dengan mengaktifkan pertahanan antimikroba pada sel
yang terinfeksi dan sel tetangga. Dalam beberapa kasus, sinyal pengaktifan
pertahanan menyebar ke seluruh tanaman atau bahkan ke tanaman tetangga. Kedua
sistem mendeteksi berbagai jenis molekul patogen dan golongan protein reseptor
tumbuhan (Jones & Dangl, 2006; Dodds & Rathjen, 2010)
Pengenalan
tingkat pertama ini merupakan pola molekul terkait dengan elisitor, dikenal
dengan pathogen / microbe associated molecular
patterns (PAMPs atau MAMPs) (Boller and Felix., 2009 ; Schwessinger and
Ronald, 2012). PAMPs atau MAMPs dikeluarkan oleh mikroba dan bukan oleh inang.
Aktivasi reseptor pengenalan pola daerah permukaan sel (Receptor cell surface area pattern recognition /PRRs) menyebabkan
sinyal intraselular, pemrograman ulang transkripsi, dan biosintesis dari
respons keluaran kompleks yang membatasi kolonisasi. Sistem ini dikenal sebagai
PAMP-Triggered Immunity atau sebagai Pattern-Triggered Immunity (PTI) (Jones
& Dangl, 2006; Li et al., 2016).
Tingkat
kedua diperintah oleh produk gen R, sering disebut kekebalan dipicu efektor (Efector Triggered Immunity / ETI). ETI
biasanya diaktifkan dengan adanya "efektor" patogen tertentu dan
kemudian memicu respons antimikroba yang kuat. Selain PTI dan ETI, pertahanan
tanaman dapat diaktifkan dengan pola molekul endogenous terkait kerusakan (Demage associated molecular patterns / DAMPs), seperti bagian dinding sel tanaman
yang dilepaskan selama infeksi patogen. pola molekul ini dilepaskan dari
tanaman karena patogen luka atau mengalami kerusakan dan molekul yang
dilepaskan berfungsi sebagai sinyal peringatan untuk memicu atau memperkuat
respon pertahanan tanaman (Ma et al.,
2013; Yamaguchi dan Huffaker, 2011).
PAMPs,
MAMP dan DAMPs diketahui melalui reseptor pengenalan pola daerah permukaan sel
(PRRs), yang sering disandikan oleh kinase menyerupai protein (RLKs) atau
reseptor menyerupain protein (RLPs) oleh tanaman (Boller and Felix, 2009 ;
Schwessinger and Ronald, 2012). Setelah pengenalan spesifik PAMPs, MAMPs atau
DAMPs oleh PRRs, inang memunculkan serangkaian respon seluler dan perubahan
fisiologis, seperti menghentikan Ca2+, alkalinisasi ekstraseluler, depolarisasi
membran potensial, mengalirkan ion, produksi nitric oxide (NO), spesies oksigen reaktif (ROS),
dan asam fosfatidat (PA), biosintesis etilen, deposisi callose, dan pemrograman
ulang gen transkripsi secara menyeluruh, yang secara kolektif menghasilkan ketahanan
tanaman terhadap serangan patogen, ledakan oksidatif, perubahan redoks seluler,
atau aktivasi dari evolusioner MAP
kinase (MPK) yang secara langsung mengaktifkan perubahan seluler (seperti
penguatan dinding sel atau produksi antimikroba), atau mengaktifkan perubahan
ekspresi gen yang kemudian meningkatkan tanggapan defensif lainnya (Boller and
Felix., 2009 ; Schwessinger and Ronald 2012).
Ketahanan
sistemik terinduksi dicirikan oleh akumulasi asam salisilat (SA) dan pathogenesis-related protein (PR-protein),
misalnya peroksidase (Agrios 1997). Menurut Kloepper et al., (2004), ketahanan sistemik terinduksi (induced systemic resistance) bergantung pada kolonisasi sistem
perakaran oleh mikrobia. Kolonisasi oleh mikrobia dapat terjadi melalui
penyelubungan benih atau penambahan suspensi mikroba ke dalam tanah pada saat
pindah tanam. Fenomena peningkatan ketahanan tanaman secara terinduksi dapat
melalui proses SAR (Systemic Aqcuired
Resistance) atau ISR (Induced
Systemic Resistance) yang melibatkan berbagai jenis gen, enzim dan protein.
Baik SAR maupun ISR sama-sama penting peranannya untuk meningkatkan ketahanan
tanaman. Induksi ketahanan dapat dipacu oleh beragam bahan penginduksi
(elisitor), baik hayati maupun kimia (Pieterse et al., 2009) perbedaannya dapat kita lihat pada gambar 1.
Gambar 1. Perbedaan SAR dan ISR.
Sumber. Pieterse et al. (2009)
Menurut
Pieterse et al. (2009) peningkatan
ketahanan tanaman melalui SAR terjadi setelah adanya infeksi patogen secara
lokal pada tanaman, kemudian tanaman yang terinfeksi mengaktifkan gen-gen yang
berperan dalam ketahanan (pathogenic
related genes; PR) yang memproduksi senyawa-senyawa kimia untuk pertahanan
tanaman, seperti asam salisilat (SA). Adanya elisitor dapat mengaktifkan secara
cepat berbagai mekanisme ketahanan tanaman. Diantaranya akumulasi fitoaleksin
dan peningkatan aktivias enzim kitinase, β-1,3-glukanase, dan β -1,4-glukosidase.
Salah satu senyawa fenol yang sangat sederhana, 2-hydroxybenzoic acid atau asam
salisilat, telah diketahui berperan penting sebagai molekul sinyal dari
beberapa respon ketahanan tanaman (Smith-Becker et al. 1998). Banyak kondisi telah dijelaskan untuk menginduksi SAR
serta protein terkait pertahanan. Khususnya, ekspresi gen PR-1 atau protein
biasanya diambil sebagai penanda molekuler untuk menunjukkan bahwa SAR
diinduksi.
Tanaman
yang memiliki ketahanan terhadap infeksi patogen umumnya di kenali dengan
adanya reaksi hipersensitif pada bagian daun yang diinokulasi. Gejala
hipersensitif ditandai oleh terbentuknya gejala lesio lokal di daerah infeksi.
Gejala ini terbentuk karena tanaman segera mengaktifkan program cell death agar
patogen terlokalisir di sekitar sel yang terinfeksi dan tidak terjadi cell-to-cell movement ataupun long distance movement. Proses ini
dimulai dari pengenalan inang terhadap patogen karena adanya gen AVR pada
patogen dan gen R pada inang. Kemudian melalui serangkaian proses terbentuk
pertahanan yang melibatkan gen ketahanan (Morel & Dangi, 1997).
Proses
pengaktifan gen ketahanan ini melibatkan asam salisilat. Asam salisilat yang
terbentuk tidak hanya berpengaruh di sekitar area infeksi namun juga
ditranslokasikan ke bagian lain tanaman. Apabila tanaman yang sudah terinduksi
ketahanannya, terinfeksi lagi oleh patogen lain maka tanaman akan dapat
mempertahankan dirinya sehingga infeksi patogen tidak berkembang atau
terlokalisasi akibat sel-sel tanaman di sekitar tempat infeksi mati. Kematian
sel dalam proses tersebut biasa disebut sebagai reaksi hipersensitif (HR). Respon
hipersensitif berawal dari terjadinya ledakan oksidatif yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan langsung melalui oksidasi molekul esensial patogen, stimulasi
cross-linking antara komponen dinding
sel dan kematian sel terprogram, yaitu sel mati melepaskan isinya ke dalam
vakuola untuk mengurangi serangan sehingga sel-sel tetangga bertahan
(Wojtaszek, 1997).
Menurut
Ryals et al. (1996) dan Delaney (1997)
menerangkan bahwa mekanisme SAR akan terjadi melalui tiga fase yaitu:
1. Fase pertama: Fase induksi. Induksi
dapat terjadi oleh adanya infeksi patogen atau faktor abiotik (bahan kimia),
yang menyebabkan respon nekrosis yang terjadi terus menerus. Respon ini
kemungkinan bisa berasosiasi dengan respon lokal lainnya seperti reaksi
hifersensitif, pembentukan papilla, dll.
2. Fase kedua: Fase sinyal. Bersifat
sistemik, ditranslokasikan melalui floem, bisa dipindahkan melalui
grafting/penyambungan dan berspektrum luas.
3. Fase ketiga: Fase Ekspresi. Fase ini
hanya akan terjadi jika terjadi infeksi berikutnya setelah infeksi awal, jika
ini tidak ada, maka hanya terjadi mobilisasi tanpa diikuti ekspresi gen.
Ekspresi gen ini dapat berupa bentuk ketahanan tanaman, bisa berupa ketahanan
fisik/struktural, kimia, maupun genetik.
Menurut
Huang (2001), mekanisme bagaimana asam salisilat dapat menginduksi SAR belum
diketahui dengan pasti, namun ada beberapa hipotesis yang telah dikemukakan
oleh beberapa ahli yaitu:
1. Hidrogen peroksida (H202)
berperan sebagai second messenger dari
asam salisilat dalam pensinyalan SAR. Hal ini diketahui dengan adanya asam
salisilat binding protein, yang diidentifikasi sebagai katalase, ternyata mampu
dihambat aktivitasnya oleh asam salisilat, yang diawali dengan konsentrasi H202
yang meningkat.
2. H202 bertindak
sebagai agen sinyal dari asam salisilat. Hal ini dibuktikan dengan adanya
peningkatan konsentrasi H202 pada bagian daun tembakau yang
tidak diinfeksi selama aktivasi SAR.
Huang
(2001) kembali menjelaskan bahwa senyawa peroksida tersebut dimiliki oleh
hampir semua tanaman tingkat tinggi yang merupakan hasil detoksifikasi tanaman
terhadap oksigen reaktif yang berbahaya. Adapun reaksi penghasil senyawa
peroksida tersebut adalah sebagai berikut:
Superoksida
dismutase
2O2- + 2H+
H2O2 + O2
Peroksidase
H2O2 +
AH2 2H2O2 + A
Katalase
H2O2 H2O
+ ½ O2
Akumulasi
asam salisilat berhubungan erat dengan enzim yang merombak prekusor phenylalanine yaitu enzim phenylalanine ammonialyase (PAL). Pola
aktivitas PAL diinduksi di petiol dan batang menunjukkan bahwa jaringan
tersebut merespon pergerakan sinyal yang berasal dari daun yang diinokulasi.
Peningkatan aktifitas PAL diduga karena peningkatan ekspresi gen untuk enzim
dan/atau terjadi penurunan produk asam
transsinamat (Smith-Becker et al.,
1998). Asam sinamat merupakan suatu inhibitor kuat kegiatan PAL yang bertindak
untuk mempercepat berkurangnya enzim dan untuk menghambat produksi enzim
(Shields et al. 1982). Salah satu
kemungkinan adalah bahwa sinyal awal dari daun yang diinokulasi mengarah untuk
aktivasi enzim atau kelompok enzim precursor PAL yang mengkonversi asam sinamat
menjadi asam salisilat (Leon et al., 1993).
Menurut Tsuge et al., (2004), PAL
mengkatalisis deaminasi L-fenilalanin menjadi asam t-cinnamat, yang merupakan
langkah pertama dalam jalur fenilpropanoid yang memasok prekursor untuk
fenolat, lignin dan furanocoumarin, phytoalexins dan metabolit hilir lainnya,
sedangkan peroksidase (POD) menurut Quiroga et
al., (2000) mengoksidasi fenolat menjadi kuinon yang lebih beracun dan
menghasilkan hidrogen peroksida. Langkah terakhir dalam sintesis lignin dan
suberin telah diketahui merupakan hasil katalisis dari peroksidase.
Pemicu
peningkatan ketahanan melalui ISR terjadi bukan karena infeksi patogen, tetapi
oleh adanya infeksi mikrobia non patogen pada perakaran, seperti bakteri, jamur
atau mikoriza bahkan oleh bahan lainnya. Respon tanaman terhadap adanya infeksi
nonpatogen, tanaman akan memproduksi senyawa-senyawa pertahanan tanaman,
seperti asam jasmonat (JA) dan senyawa etilen (ET). Ramamoorthy et al. (2001) memaparkan bahwa mekanisme
ISR terjadi sebagai akibat perubahan fisiologi tanaman yang kemudian
menstimulasi terbentuknya senyawa kimia yang berguna dalam pertahanan terhadap
serangan patogen. Sumardiyono (2006) menyatakan bahwa perubahan fisiologi
tersebut dapat berupa peningkatan senyawa fenol yang menjadi racun bagi patogen
atau yang dikenal sebagai fitoaleksin atau berfungsi sebagai barrier struktural
dengan membentuk konjugat fenol, lignifikasi dan atau suberisasi dinding sel.
Percobaan
Verhagen et al., (2004) yang menguji ISR pada tanaman arabidobsis menunjukkan bahwa tanaman yang mengekspresikan
ISR dipastikan akan merespons lebih cepat dan / atau lebih kuat pada serangan
patogen dibandingkan tanaman kontrol. Mayoritas gen prima diprediksi akan
diatur oleh sinyal JA dan / atau ET. Priming adalah fenomena yang telah
terbukti terkait dengan berbagai jenis induksi ketahanan (Conrath et al., 2002). Pada mekanisme ini,
terjadi peningkatanan pengaktifan respons seluler yang cepat dan efektif begitu
tanaman diserang oleh patogen, dan memungkinkan tanaman bereaksi lebih efektif
terhadap patogen yang menyerang dengan meningkatkan pertahanan yang diaktifkan
pada tanaman inang.
Tanda
pensinyalan tanaman diaktifkan oleh reseptor pendeteksi patogen yang dijelaskan
pada bagian di atas. Reseptor aktif sering menghasilkan produksi oksigen
reaktif dan nitrit oksida, kalsium, kalium dan fluks ion proton, mengubah kadar
asam salisilat dan hormon lainnya dan aktivasi kinase MAP dan kinase protein
spesifik lainnya (Nurnberger et al.,
2004; Dodds & Rathjen, 2010). Pada akirnya siklus ini akan mengaktifan
ekspresi pertahanan (Li et al., 2016).
Menurut Choudhary (2007), jalur yang diinduksi oleh asam salisilat dan asam
jasmonat dicirikan oleh produksi PR- protein yang mencakup anti jamur (chitinases, glucanases dan thaumatins), dan enzim oksidatif (yaitu,
peroksidase, oksidase polifenol dan lipoksigenase). Senyawa dengan berat
molekul rendah dengan sifat antimikroba (phytoalexin)
juga dihasilkan dari jalur tersebut.
Pieterse
et al., (2014) menyatakan bahwa bahwa
ISR dikaitkan dengan peningkatan akumulasi phytoalexin
dan penebalan dinding sel di tempat infeksi patogen. Selain itu terjadi juga
penahanan oleh asam absisat (ABA) untuk pengendapan callose selama ISR, dimana
hal ini akan menyediakan lapisan perlindungan tambahan yang memperluas spektrum
keefektifan ISR. Banyak patogen daun menyerang tanaman dengan masuk melalui
stomata pada permukaan daun. ISR yang melindungi bagian tanaman yang tidak
terinfeksi untuk memicu terjadinya penutupan stomata yang dipercepat sebagai
respons terhadap serangan patogen (Kumar et
al., 2012) dimana respon ketahanan menjadi penghalang struktural yang dapat
menunda perkembangan penyakit. Knoester et
al., (1999) menerangkan bahwa pensinyalan ET di dari bagian tanaman yang di
induksi diperlukan untuk ekspresi ISR di daun dan mungkin memfasilitasi
pembangkitan atau translokasi sinyal ISR sistemik kebagian tanaman lainnya.
2.3. Induksi
Menggunakan Bahan Kimia ramah lingkungan
Induksi
ketahanan oleh bahan kimia merupakan pendekatan yang menjanjikan untuk mencegah
penyakit yang disebabkan oleh patogen (Okubara dan Paulitz, 2005). Berbagai
macam senyawa alami atau sintetis dapat menimbulkan respon pertahanan pada
tanaman. Aplikasi asam salisilat secara eksogen, atau analog fungsionalnya 2,6-
dichloroisonicotinic acid (INA) atau benzo(1,2,3)thiodiazole-7-carbothioic
acid Smethyl ester (BTH) menginduksi SAR dan mengaktifkan gen gen PR yang
sama (Ryals et al., 1996; Friedrich et al., 1996; Sticher et al., 1997). Selain asam salisilat dan
analognya, senyawa organik lainnya seperti molekul sinyal asam jasmonat, MeJa
(metil jasmonat) dan etilen, asam lemak tak jenuh, asam baminobutirat, kitosan,
nicotinamide, probenazole, harpin dan riboflavin memiliki aktivitas induksi
ketahanan terhadap beberapa patogen (Schneider et al. 1996 ; Oostendorp et
al, 2001; Yasioka et al. 2001;
Gozzo 2003). Oostendorp et al. (2001)
juga melaporkan bahwa Saccharin, sebuah metabolit probenazole, menginduksi ketahanan
pada padi melawan Magnaporthe grisea
dan Xanthomonas oryzae. Hasil
penelitian White (1979), menunjukkan bahwa aplikasi eksogen asam salisilat (AS)
dan turunan asam benzoat tertentu lainnya dapat menyebabkan resistensi terhadap
TMV dan akumulasi protein PR. Menurut Xie & Chen (1998), aplikasi asam
salisilat secara eksogen pada konsentrasi 1-5 mM sejauh ini diketahui
menginduksi ekpresi gen pathogen related (PR) dan ketahanan melawan berbagai
patogen mikroba.
Pada
beberapa percobaan, ketahanan tanaman yang lebih baik ditunjukkan oleh bahan
kimia sebagai inducer dibanding dengan kontrol. Hasil perobaan Buzi et al., (2004) menunjukkan pertumbuhan
bibit melon yang diperlakukan dengan BTH dan MeJa yang diinokulasi dengan
patogen telah menginduksi diferensial dari pathogenic
related (PR) protein kitinase dan
peroksidase. Dimana PR-protein adalah protein yang terinduksi oleh pemberian
bahan kimia sebagai inducer. Protein tersebut terlibat dalam pertahanan aktif
terhadap penyakit dan bisa memainkan peran kunci dalam membatasi pengembangan
patogen dan menyebar pada tanaman (van Loon et
al., 2006).
Pengujian penggunaan bahan kimia
sebagai elisitor selain menunjukkan penurunan index penyakit, pada percobaan
yang dilakukan oleh Aleandri et al.,
(2010) menunjukkan bahwa perlakuan dengan penggunaan bahan kimia pada tumbuhan
dapat meningkatkan aktifivitas pertahanan dengan mengaktifkan β1,3-glucanase, kitinase
dan peroxidase (Gambar 2).
Gambar 2.
Aktifitas pertahanan dengan induksi menggunakan bahan kimia dengan mengaktifkan
A.
β1,3-glucanase, B. kitinase dan C.
Peroxidase.
Sumber.
Aleandri et al., 2010
Selain
pengujian induksi ketahanan yang dilakukan oleh Aleandri et al., (2010) dengan menggunakan bahan kimia, masih
banyak penelitian lain yang juga membuktikan penggunaan bahan kimia yang dapat
menginduksi ketahanan tumbuhan, penelitian lainnya yaitu penggunaan bahan kimia
berupa sakarin (2,3-dihidro-3-oxobenzoisosulfonazol) sebagai inducer pertama
kali di coba oleh Siegrist et al. pada tahun 1998 (Boyle and Dale,
2005). Percobaan tersebut, menunjukkan bahwa sakarin yang diaplikasikan memberikan
efek resistensi tembakau terhadap TMV, mentimun terhadap Colletotrichum lagenarium
dan kacang Prancis melawan Uromyces appendiculatus (Siegrist et al.,
1998) (data hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 1). Sakarin adalah
metabolit probenazol, yang digunakan untuk mengendalikan Magnaphorthe grisea
dan Xanthomonas oryzae pada padi, melalui induksi pertahanan inang
(Oostendorp et al., 2001). Selain hasil penelitian Siegrist et al.,
(1998), pengujian sakarin sebagai inducer terhadap induksi ketahanan tanaman
juga dilakukan oleh Boyle & Dale pada tahun 2005. Percobaan ini menguji
ketahanan tanaman kacang panjang terhadap jamur karat. Hasil dari penelitian
ini menunjukkan bahwa induksi ketahanan baru muncul pada hari ke 14 setelah
diberi perlakuan menggunakan sakarin.
Tabel 1. Penekanan penyakit tanaman dengan metode induksi ketahanan
menggunakan sakarin
Tanaman dan Perlakuan
|
Patogen
|
Penekanan Penyakit (%)
|
Tembakau
|
TMV
|
|
Sakarin (3 mM)‹
|
63,7
|
|
Timun
|
Colletotrichum
lagenarium
|
|
Sakarin (1 mM)‹
|
79,1
|
|
Kacang Perancis
|
Uromyces
appendiculatus
|
|
Sakarin (3 mM)‹
|
73,1
|
Sumber. Siegrist et al., 1998
Asam salisilat yang merupakan sinyal pertahanan
pada ketahan terinduksi juga diuji secara eksogen dengan pemberian asam
salisilat sintetik sebagi inducer oleh Mandal et al., (2009) pada
tanaman tomat terhadap penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh Fusarium
oxysporum f.sp lyopersici. Pada penelitian ini diketahui bahwa senyawa asam
salisilat tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan miselium
jamur tersebut pada media PDA (Gambar 3).
Induksi ketahanan tanaman dicapai dengan memberikan 200 mM SA langsung
ke bagian akar tanaman serta dapat juga dengan melakukan penyemprotan ke bagian
daun. Induksi ketahan dengan pemberian asam salisilat ini terbukti dengan
meningkatnya kandungan senyawa asam salisilat pada tanaman tomat yang diuji
dibanding tanaman kontrol serta terjadi penekanan gejala kuning pada bagian
vaskular dan daun tanaman tomat (Gambar 4) serta penekanan tingkat penyakit
(Gambar 5).
Gambar 3.
Pengaruh asam salisilat (SA) pada pertumbuhan miselium Fusarium oxysporum f.
Sp lycopersici. Koloni jamur
dipelihara pada PDA yang diberi perlakuan 100, 200, 300 mM SA dan diameter
koloni diukur pada hari ke 9 setelah inokulasi jamur
Sumber.
Mandal et al., (2009)
Gambar 4. Pengaruh perlakuan asam salisilat 200 mM (SA) dan inokulasi
Fusarium oxysporum f. Sp. Lycopersici (Fol) pada tomat yang tumbuh secara
hidroponik. (A) Pencoklatan vaskular; (B) layu pada daun
Sumber.
Mandal et al., (2009)
Gambar 5.
Induksi resistensi pada tanaman tomat terhadap infeksi Fusarium oxysporum f.
Sp lycopersici dengan pemberian pada akar (a) dan semprotan daun (b) dengan
200 mM asam salisilat.
Sumber.
Mandal et al., (2009)
Penggunaan asam salisilat sebagai inducer ternyata
tidak hanya berfokus pada asam salisilat murni, namun juga turunannya berupa
Asam asetilsalisilat atau yang biasa dikenal dengan nama aspirin. Penggunaan
aspirin sebagai bahan induksi telah lama digunakan yaitu pada tahun 1979 oleh
White untuk menekan perkembangan TMV pada tanaman tembakau. Penggunaan aspirin
yang di injeksi pada daun tanaman tembakau menurunkan jumlah lesi lokal hingga
lebih dari 90% (White, 1979).
Akhir-akhir ini penggunaan bahan kimia sebagai
inducer banyak dilakukan. Selain pengujian bahan kimia berupa asam salisilat
dan turunannya, bahan kimia berupa vitamin juga diuji terhadap dampak induksi
ketahanan tanaman. Salah satu yang dilakukan adalah pengujian thiamin (vitamin
B1) dan Ribovlafin (vitamin B2) yang dilakukan oleh Abdel-Monaim (2011). Hasil
percobaan menunjukkan penggunaan bahan kimia berupa Riboflavin dan Thiamin
dapat menekan penyakit busuk arang yang disebabkan oleh Macrophomina
phaseolina pada tanaman kedelai. Penggunaan Riboflavin dan thiamin dapat
menekan penyakit busuk arang hingga mencapai 9,25% untuk riboflavin dan 5,25%
untuk thiamin. Pengujian yang dilakukan oleh Abdel-Monaim (2011) selain
menunjukkan penekanan terhadap penyakit busuk akar, juga menunjukan aktifitas dari
reaksi ketahanan secara biokimia dari tanaman yang diperlakukan menggunakan
bahan kimia. Reaksi yang diketahui yaitu meningkatnya reaksi dari peroxidase,
polyphenol oxidase, peningkatan terhadap jumlah fenol total dan meningkatnya
reaksi lignifikasi tumbuhan terhadap serangan patogen.
Selain Abdel-Monaim, penelitian induksi ketahanan
dengan menggunakan vitamin yang berupa bahan kimia juga dilakukan oleh Boubakri
et al., (2012) terhadap penyakit downy mildew pada tanaman anggur yang
diserang oleh Plasmopara viticola. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa penggunaan thiamin dapat meningkatkan ketahanan tanaman anggur yang diuji
berdasarkan pada kejadian infeksi patogen dan gejala pada daun tanaman yang di
induksi menggunakan thiamin dan diberi P. viticola (Gambar 6).
Gambar 6.
Pengaruh induksi ketahanan menggunakan thiamin pada tanaman anggur terhadap
serangan P. viticola. A. gejala pada tanaman dan B. gejala pada daun
Sumber. Boubakri et al., (2012)
Percobaan yang dilakukan ini juga menunjukkan bahwa
thiamin memiliki efek langsung terhadap jamur P. viticola dimana
perlakuan thiamin yang diujikan secara langsung terhadap jamur tersebut dapat
menghambat perkecambahan (Gambar 7). Menariknya, bila diaplikasikan pada
konsentrasi 30 mM (dosis yang digunakan pada percobaan rumah kaca pada gambar 6
di atas untuk menginduksi ketahanan tanaman), thiamin tidak sepenuhnya menghambat
kemampuan perkecambahan sporangia patogen karena 43% sporangia P. viticola
masih dapat berkecambah berkecambah.
Gambar 7.
Efek langsung tiamin terhadap P. viticola. Efek langsung tiamin terhadap
P. viticola diuji dengan mencampurkan 500 ml suspensi sporangia dengan
500 ml air (Kontrol negatif), 500 ml BABA (kontrol positif) dan 500 ml tiamin
dengan berbagai konsentrasi kemudian diinkubasi selama 30 menit.
Sumber.
Boubakri et al., (2012)
Selain penggunaan vitamin sebagai bahan kimia
penginduksi ketahanan tanaman, baru-baru ini ahli perlindungan tanaman mencoba
menggunakan bahan kimia berupa bahan pengawet makan yang sering digunakan dalam
produk sehari-hari untuk menginduksi ketahanan tanaman. Diantara produk
tersebut adalalah asam benzoat dan natrium benzoat. Kumar et al., (2003)
mengkaji dalam percobaan lapangan pengaruh perendaman beberapa bahan kimia
terhadap induksi ketahanan tanaman, dari hasil percobaan tersebut diketahui
bahwa asam benzoat lebih baik daripada bahan kimia lainnya dalam mengurangi
kejadian penyakit busuk batang dan tingkat keparahan pada padi yang disebabkan
oleh Sclerotium oryzae yang diikuti oleh asam asetat naftalena dan SA.
Jauh sebelum penelitian yang dilakukan oleh kumar et
al., pada tahun 2003, penelitian menggunakan asam benzoate telah dilakuka
oleh Elad (1992). Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa asam benzoat
meningkatkan aktivitas pengendalian pada daun tomat. Penelitian berikutnya yang
dilakukan oleh Kataria et al., (1997) menunjukkan bahwa asam askorbat
dan asam benzoat secara efisien mengendalikan penyakit damping-off pada Phaseolus
vulgaries yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani.
Penelitian yang dilakukan oleh Fadel et al.,
(2006) menunjukkan bahwa penggunaan bebebrapa bahan kimia yang digunakan dapat
menekan penyakit pada jagung yang disebabka Ustilago maydis, dimana pada
penelitian ini menggunakan asam
salisilat, natrium benzoat dan kalium monofosfat. Dari percobaan ini, dapat
diketahui bahwa penggunaan bahan kimia pengawet makan yang biasa digunakan pada
produk makanan sehari-hari juga dapat digunakan sebagai bahan pengimbas
ketahanan tanaman, dimana penggunaan natrium benzoate dapat menekan penyakit
gosong bengkak pada jagung dibandingkan control.
Tabel 2. Pengaruh hari induksi tiga bahan kimia induser terhadap
kejadian penyakit (%) dan tingkat keparahan penyakit (%) penyakit gosong
bengkak pada tanaman jagung (cv. Balady) di rumah kaca.
Bahan kimia
penginduksi
|
hari induksi (hari)
|
Kejadian penyakit (%)
|
Keparahan penyakit
(%)
|
Asam salisilat
|
8
|
15,3
|
10,12
|
16
|
22,7
|
15,93
|
|
Natrium benzoate
|
8
|
12,0
|
9,37
|
16
|
9,3
|
6,34
|
|
KH2PO4
|
8
|
18,3
|
12,87
|
16
|
6,7
|
5,83
|
|
Kontrol
|
8
|
21,7
|
13,28
|
16
|
21,7
|
13,28
|
Dari keterangan penggunaan bahan kimia ramah
lingkungan yang digunakan, dapat diketahui bahwa semua hasil pengujian bahan
kimia tersebut dapat menunjukkan bahwa bahan kimia yang digunakan merupakan
inducer yang dapat berperan sebagai elisitor dimana menurut Van Loon dan Van
Strien (1999), elisitor akan mengaktivasi jalur transduksi sinyal umumnya
sehingga menyebabkan produksi spesies oksigen reaktif (ROS), biosintesis fitoaleksin,
penguatan dinding sel tanaman yang terkait dengan senyawa fenil propanoid, pengendapan
callose, sintesis enzim pertahanan, dan akumulasi (PR) protein terkait
pathogenesis dan beberapa yang memiliki sifat antimikroba. Selanjutnya Agrios
(1988) menerangkan bahwa ROS menyebabkan respon hipersensitif (HR) pada tanaman
yang merupakan kematian lokal atau kematian cepat satu atau beberapa sel di
lokasi infeksi untuk membatasi pertumbuhan patogen. Setelah aktivasi HR, bagian
distal yang tidak terinfeksi dapat mengembangkan resistensi terhadap infeksi
lebih lanjut, fenomena ini yang dikenal sebagai ketahanan sistemik terimbas
yang efektif terhadap beragam patogen, termasuk virus, bakteri, dan jamur (Heil
and Bostock, 2002).
Kesimpulan
Dari keterangan yang telah disampaikan dapat ditarik
kesimpulan bahwa pengendalian penyakit tumbuhan dapat dilakukan dengan cara
mengaktifkan dan meningkatkan daya ketahanan atau reaksi ketahanan tanaman
dengan menggunakan beberapa bahan penginduksi atau yang dikenal dengan
elisitor. Diantara banyak elisitor salah satu jenis yang dapat digunakan berupa
bahan kimia yang tidak berbahaya bagi lingkungan dan juga pelaku usaha tani
yaitu dengan menggunakan bahan kimia ramah lingkungan seperti asam salisilat,
BTH, aspirin dan turunan lainnya, vitamin seperti thiamin dan ribovlafin, bahan
kimia yang digunakan dalam produks makanan sehari-hari seperti sakarin, asam
benoat dan natrium benzoat. Terbukti dengan menggunakan elisitor berupa bahan
kimia dapat menekan penyakit yang menyerang tanaman. Selain itu, penggunaan elisistor
berupa bahan kimia juga dapat meningkatkan reaksi ketahanan biokimia tanaman berupa
1,3-glukanase, peroxidase, polyphenol oxidase, peningkatan terhadap jumlah
fenol total dan meningkatnya reaksi lignifikasi tumbuhan terhadap serangan
patogen. Dengan demikian penggunaan bahan kimia ramah lingkungan dapat
digunakan menjadi salah satu alternatif dalam pengendalian penyakit tumbuhan
untuk masa kini.
Saran
Penggunaan bahan kimia ramah lingkungan sebagai bahan penginduksi harus
diuji terlebih dahulu untuk pengendalian penyakit tanaman, hal ini dikarenakan
reaksi yang berbeda terhadap tanaman, penekanan penyakit dengan patogen yang
berbeda dan bahan kimia serta jumlah yang digunakan dalam pengendalian.perlu bahan PDF nya, silahkan klik di sini.