Menu

Sunday, December 4, 2016

Identifikasi Potyvirus Pada Tanaman Cabai Rawit Secara Molekuler



I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan salah satu komoditas unggulan hortikultura di Indonesia yang bernilai ekonomi tinggi. Kebutuhan cabai selalu bertambah dari tahun ke tahun dan pada saat tertentu kebutuhan cabai sangat tinggi sehingga produksi nasional tidak mampu memenuhi permintaan (Suharsono et al., 2009). Beberapa faktor penyebab rendahnya produksi cabai di lapangan, diantaranya yaitu teknik budidaya, keberadaan hara dalam tanah serta serangan hama dan penyakit. Penyebab utama kegagalan panen pada cabai adalah infeksi patogen virus, maka usaha untuk mengatasi penyakit cabai akibat virus perlu mendapat perhatian (Suryaningsih et al., 1996).
Beberapa jenis virus dilaporkan dapat menginfeksi tanaman cabai di Indonesia. Penyakit mosaik yang disebabkan oleh virus salah satu faktor utama rendahnya produktivitas cabai (Duriat et al., 1995; Suryaningsih et al., 1996). Empat virus yang berasosiasi dengan gejala mosaik diantaranya yaitu cucumber mosaic virus (CMV), tobaco mosaic virus (TMV), chilli veinal mottle virus (ChiVMV) dan potato virus Y (PVY) (Nurdin, 1998). Chilli veinal mottle virus (ChiVMV) dan potato virus Y (PVY) merupakan jenis virus yang termasuk dalam genus Potyvirus. Infeksi Potyvirus di daerah sentra tanaman cabai di Indonesia dilaporkan cukup tinggi. Pengamatan terhadap gejala infeksi di lapangan menunjukkan adanya variasi gejala yang cukup tinggi, mulai dari belang ringan sampai belang berat yang diikuti dengan penebalan tulang daun (Manzila et al., 2011).
Infeksi Potyvirus pada tanaman cabai dapat menurunkan hasil tanaman secara signifikan. Survei yang dilakukan sebelumnya pada tahun 2005 melaporkan kejadian penyakit Potyvirus di lapangan dapat mencapai 100% (Opriana, 2009). Upaya pengendalian secara konvensional terhadap Potyvirus sudah dilakukan namun tidak efisien. Tanaman cabai yang terinfeksi pada daunnya akan memperlihatkan gejala belang-belang hijau gelap, bercak-bercak hijau gelap, dan kadang-kadang pola-pola tersebut menyatu ke tulang daun di dekatnya, leaf cupping, epinasti dan nekrosis (Ong, 1995; Sulyo et al., 1995). Gejala akan terlihat paling keras pada daun yang paling muda, pertumbuhannya akan terhambat dan memiliki garis-garis hijau gelap pada batang dan cabang. Gejala yang disebabkan oleh Potyvirus di lapangan bervariasi karena gejala yang muncul pada tanaman dipengaruhi oleh inang, strain virus, waktu infeksi dan kondisi lingkungan.
Bervariasinya gejala infeksi Potyvirus di lapangan, menyebabkan identifikasi secara langsung virus yang menginfeksi tanaman cabai sulit dilakukan. Keragaman genetik Potyvirus berdasarkan perunutan basa nukleotida serta informasi yang lebih mendalam mengenai urutan nukleotida dari Potyvirus yang ada di Indonesia untuk menunjukkan adanya keragaman genetik diantara Potyvirus belum banyak dilakukan (Manzila et al., 2011). Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dipelajari cara mengidentifikasi Potyvirus pada tanaman cabai. Metode molekuler adalah metode yang lebih sensitif sebagai metode yang digunakan untuk mendeteksi virus dibandingkan dengan kajian biologi. Berdasarkan uraian diatas, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai “identifikasi Potyvirus tanaman cabai rawit secara molekuler”.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu :
1.                  Mempelajari kajian identifikasi potyvirus pada tanaman cabai rawit secara molekuler.
2.                  Memperdalam pemahaman penulis mengenai teori ilmu penyakit tumbuhan molekuler.


II.  PEMBAHASAN

2.1. Cabai Rawit
Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan. Cabai berasal dari benua Amerika tepatnya daerah Peru dan menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk Negara Indonesia. Tanaman cabai banyak ragam tipe pertumbuhan dan bentuk buahnya. Cabai yang dibudidayakan di Indonesia yakni cabai besar, cabai keriting, cabai rawit dan paprika (Chairani, 2008).
Cahyono (2003) menjelaskan bahwa tanaman cabai rawit diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi               : Spermatophyta
Sub divisio      : Angiospermae
Kelas               : Dicotyledoneae
Ordo                : Corolliforea
Famili              : Solanaceae
Genus              : Capsicum
 Spesies           : Capsicum frutescens L.
            Cabai rawit mempunyai struktur yang hampir sama dengan cabai besar. Satu buku biasanya keluar lebih dari satu buah. Daunnya bulat telur, dasarnya lebih lebar, ujung menyempit dan merucing, warna daun hijau muda, permukaan bawah berbulu, lebar 0,5-5 cm, panjang 1-10 cm, panjang tangkai 0,5-3,5 cm. Bunganya kecil, terletak pada ujung ranting, jumlahnya satu atau dua kadang-kadang lebih. Tangkai bunga tegak, panjangnya 1,5-2,5 cm, warnanya hijau muda. Kelopak bunga kecil, berbentuk bintang segi 5, warnanya hijau kekuningan. Mahkota bunga warna kuning-kehijauan, garis tengah 0,5-1 cm, bentuk bintang bersudut 5. Benang sari 5 buah, tegak, warna kepala benangsari ungu. Buahnya kecil, berbentuk kerucut, ujung runcing, tegak, dan tangkainya panjang, panjang buah 1-3 cm, garis tengah 0,3-1 cm, apabila sudah masak warnanya merah cerah, orange atau putih-kekuningan mengkilat. Dalam 1 gram terdapat kurang lebih 250-300 biji dan rasanya pedas sekali. Perakaran cabai merupakan akar tunggang yang terdiri atas akar utama (primer) dan akar lateral (sekunder). Dari akar lateral keluar serabut-serabut akar (akar tersier). Panjang akar primer berkisar 35-50 cm. Akar lateral menyebar sekitar 35-45 cm (Prajnanta, 2004).
            Tanaman cabai merupakan self-pollinated crop yaitu tanaman yang menyerbuk sendiri. Persilangan antar varietas secara alami masih mungkin terjadi di lapangan yang dapat menghasilkan ras-ras cabai baru dengan sendirinya (Cahyono, 2003). Daerah dataran rendah yang tanahnya gembur dan kaya bahan organik tanaman cabai akan dapat tumbuh dengan baik. Umur tanaman cabai dapat mencapai 2-3 tahun (Nawangsih et al., 1999; Cahyono, 2003). Tanaman cabai secara geografis dapat tumbuh pada ketinggian 0-1200 m di atas permukaan laut. Daerah dataran tinggi yang berkabut dan kelembabannya tinggi, tanaman cabai mudah terinfeksi penyakit. Cabai akan tumbuh baik pada daerah yang rata-rata curah hujan tahunannya antara 600-1250 mm dengan bulan kering 3-8,5 bulan dan tingkat penyinaran matahari lebih dari 45% (Suwandi et al., 1997). Dalam budidaya tanaman cabai, terdapat kendala yang menyebabkan tanaman menjadi tidak baik, cepat mati dan hasil tanaman menjadi rendah bahkan gagal panen. Salah satu penyebabnya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus. Menurut Opriana (2009), infeksi Potyvirus akan mengganggu pembentukan buah cabai. Beberapa buah yang dihasilkan akan nampak belang-belang, dan hal ini akan berdampak pada kehilangan hasil secara signifikan.

2.2. Penyakit Virus Pada Cabai
Infeksi penyakit yang disebabkan oleh virus pada cabai merupakan masalah utama di lapangan. Penyakit keriting, penyakit krupuk, dan penyakit mosaik telah diketahui dapat ditularkan melalui benih (seed transmission). Terjadinya infeksi virus pada tanaman cabai dapat menurunkan pertumbuhan dan produksi tanaman, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Syamsidi et al., 1997). Gejala mosaik dan kuning merupakan virus utama yang menginfeksi tanaman cabai. Gejala mosaik ditemukan berasosiasi dengan infeksi tiga jenis virus yang berbeda, yaitu Tobacco mosaic virus (TMV), Cucumber mosaic virus (CMV) dan Chili veinal motle virus (ChiVMV). Gejala kuning hanya berasosiasi dengan satu jenis virus yaitu Pepper leaf curl geminivirus (PepLCV) (Nyana, 2012).
Gejala awal yang ditemukan pada tanaman cabai dengan gejala mosaik umumnya muncul pada pucuk tanaman dimana daun muda memperlihatkan perubahan warna belang hijau muda kekuningan diantara warna hijau normal atau hijau tua. Tanaman yang terinfeksi virus pertumbuhannya relatif lebih kerdil. Pada awal gejala, tulang daun menguning atau terjadi jalur kuning sepanjang tulang daun. Daun menjadi belang hijau tua dan hijau muda, ukuran daun lebih kecil dan lebih sempit dari ukuran daun yang normal, atau menjadi seperti tali sepatu karena lembaran daun menghilang yang tinggal hanya tulang daun. Virus mosaik sering menyebabkan gejala bisul pada buah (Semangun, 2000).
Dua dari 73 genera virus tanaman yaitu Potyvirus dan Begomovirus menyumbang lebih dari 30% dari semua spesies virus yang diakui. Potyvirus adalah yang terbesar dari enam genera di dalam keluarga Potyviridae (Fauquet et al., 2005; Shukla et al., 1994). Beberapa macam virus telah dilaporkan dapat menyerang kultivar cabai di Indonesia yang berasal dari genus Potyvirus yaitu, Chilli Veinal Mottle Virus (ChiVMV) dan Potato Virus Y (PVY) yang dapat menginduksi gejala mosaik (Duriat et al., 1995; Suryaningsih et al., 1996).
Virus ChiVMV pada tanaman dapat menimbulkan gejala yaitu daun belang dan berwarna hijau gelap. Pada daun yang paling muda gejala infeksi virus akan terlihat paling jelas, tanaman yang terinfeksi pertumbuhannya akan terhambat dan memiliki garis-garis hijau gelap pada batang dan cabang. Sebagaian besar terjadi pada bunga sebelum pembentukan buah cabai. Beberapa buah yang dihasilkan akan terlihat belang-belang, dan hal ini akan berdampak pada kehilangan hasil secara signifikan (Opriana, 2009).
PVY adalah spesies dari genus Potyvirus yang mempunyai titik pengenceran terakhir 1 : 1000-100.000 dan titik pemanasan inaktifasi lebih kurang 500 C. Virus ini berbentuk benang-benang pendek yang panjangnya berbeda. Sitoplasma sel tanaman yang terinfeksi terdapat inklusi yang berbentuk cakra, yang merupakan tanda khas dari PVY. Virus ditularkan ditularkan oleh kutu daun, Myzus persicae secara non persisten serta secara mekanis. Gejala yang timbul pada tanaman ini tidak begitu beragam. Infeksi menyebabkan gejala mosaik antar tulang daun, tulang daun berwarna gelap, sedangkan diantaranya berwarna lebih muda, gejala mosaik yang lemah ini biasanya lebih jelas pada daun-daun tua, yang terlindungi oleh daun diatasnya (Duriat dan Muharam, 2003).
Fakta bahwa virion ditransmisikan dengan cara non-persistent menunjukkan bahwa replikasi virus tidak terjadi dalam vektor kutu. Virion melekat pada stylet dalam hitungan detik dan dapat tetap menular selama 4-17 jam. Virion masuk ke dalam sel tanaman kemudian coat protein lepas dari RNA genom. RNA virus berfungsi sebagai mRNA yang masih sedikit yang diketahui tentang terjemahannya. Hasil mRNA yang diterjemahkan menjadi polyprotein kemudian dipotong menjadi protein. Protein virus bersama dengan protein inang, berkumpul untuk membentuk kompleks replikasi. Kompleks ini membentuk RNA negatif, dengan menggunakan untai positif RNA virus sebagai template. Setelah salinan RNA diproduksi dilanjutkan dengan sintesis beberapa protein. Coat protein akan bergabung kembali untuk membentuk virion baru. Partikel-partikel virus baru yang disintesis selanjutnya diangkut melalui plasmodesmata sel tanaman yang berdekatan dibantu beberapa protein potyvirus. Distribusi virus dalam tanaman terjadi sesuai dengan hubungan sumber infeksi dan aliran hasil fotosintesis. Konsentrasi virus yang tinggi, meningkatkan kemungkinan penyerapan oleh kutu daun. Infeksi tanaman dengan potyvirus dapat bervariasi dalam gejala yang ditunjukkan. Infeksi dapat mencakup nekrosis, gejala mosaik serta malformasi daun (Boonham et al., 2002). Dari molekul yang ada pada potyvirus, dapat di ketahui karakteristik potyvirus secara molekulernya.

2.3. Karakter Molekuler Potyvirus
Potyvirus mempunyai partikel berbentuk batang lentur berukuran 15-20 x 720 nm dan mengandung genom monopartit berupa RNA (ribonucleic acid) untai tunggal yang terdiri dari 9830 nukleotida (Nicolas and Laliberte, 1992). Beberapa virus kadang-kadang berkembang sangat cepat sehingga tingkat evolusi mereka dapat diperkirakan dengan membandingkan sampel yang dikumpulkan pada waktu yang berbeda selama epidemik (Bryant et al., 2007). Potyvirus memiliki selubung protein yang berfungsi untuk penularan melalui kutu daun, pergerakan virus dari sel ke sel dan pergerakan virus secara sistemik, pembentukan selubung virus, dan replikasi virus (Tabel 2. 1) (Urcuqui-Inchima et al., 2001).
Tabel 2.1 Fungsi beberapa protein yang terdapat dalam struktur genom Potyvirus
Protein
Fungsi protein
P1
Proteinase; berperan dalam perpindahan virus dari sel ke sel
Hc-Pro
Berhubungan dengan penularan virus melalui kutu daun
P3
Sifat patogenik terhadap tanaman
CI
Pergerakan RNA helicase dari sel ke sel
CP
Selubung protein, berhubungan dengan penularan melalui vektor.
NIa-VPg
Replikasi genom
Nia-Pro
Proteinase major
Nib
Replikasi virus (RNA dependent RNA polymerase/RdRp)
6K1
Tidak diketahui
6K2
replikasi RNA

Genom Potyvirus diekspresikan melalui translasi poliprotein dari genom virus. Poliprotein mengalami pemotongan menjadi protein fungsional dan struktural sesuai dengan gen yang disandikannya yang terjadi di dalam sitoplasma. Selama dan sesudah translasi terjadi pemotongan poliprotein oleh protease yang berasal dari ekspresi dari genom Potyvirus. Poliprotein yang diekspresikan oleh genom virus diproses menjadi 10 protein fungsional oleh tiga jenis enzim proteinase yang dihasilkan oleh virus itu sendiri (Hull, 2002).
Protein inklusi (CI) dan protein selubung (CP) berguna untuk pergerakan dari satu sel inang ke sel inang lainnya melalui plasmodesmata. CP juga digunakan untuk pergerakan virion protein dalam jaringan vaskuler melalui interaksi dengan Hc-Pro pada domain C- dan N- terminalnya. HC-Pro dengan menggunakan antiviral yang disebut RNA silencing (pembungkaman RNA), berfungsi menekan mekanisme pertahanan tanaman. Viral genome-linked protein (VPg) merupakan protein multifungsi yang berperan pada saat amplifikasi dan pergerakan virus yang berada pada ujung 5’ genom virus. Protein ini merupakan bagian N-proximal dari protein inklusi inti (NIa) dan terpisah secara autokatalik dari domain C-proximal proteinase (NIa-Pro). VPg berikatan secara kovalen dengan ujung 5’ RNA virus melalui ikatan fosfodiester pada residu asam amino tirosin yang terletak di bagian N-proximal. VPg mempunyai peranan penting untuk proses infeksi virus. VPg juga berinteraksi dengan faktor inisiasi translasi (eIF(iso)4E), dan diperlukan untuk infeksi secara sistemik. Genom Potyvirus mempunyai bagian yang tidak berubah (conserved) dan daerah yang bervariasi. Hc-Pro dan Nib merupakan bagian yang tidak berubah. Daerah yang bervariasi adalah P1, P3, dan CP (Eleman et al., 1997). Meskipun terdapat persamaan antara strain yang sama, virus masih dapat dibedakan atau diidentifikasi.

2.4.Identifikasi Potyvirus
Polymerase chain reaction (PCR) adalah metode yang sangat sensitif, cepat dan banyak digunakan untuk mendeteksi virus tanaman. PCR merupakan reaksi invitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer, serta dilakukan di dalam thermocycler. Panjang target DNA berkisar antara puluhan sampai ribuan nukleotida yang posisinya diapit sepasang primer. Primer yang berada sebelum target disebut primer forward dan primer yang berada setelah target disebut primer reverse. Enzim sebagai pencetak rangkaian molekul DNA baru disebut sebagai enzim polymerase. Untuk mencetak rangkaian tersebut dalam teknik PCR, diperlukan juga dNTPs yang mencakup dATP (nukleotida berbasa Adenine), dCTP (nukleotida berbasa Cytosine), dGTP (nukleotida berbasa Guanin) dan dTTP (nukleotida berbasa Thymine) (Muladno, 2002).
PCR merupakan suatu metode yang menggunakan komponenkomponen replikasi DNA untuk mereplikasi suatu fragmen DNA yang spesifik di dalam tabung reaksi. PCR dikembangkan untuk mempercepat isolasi DNA spesifik tanpa membuat dan melakukan pustaka genom. Dua primer oligonukleotida pendek digunakan untuk mengapit daerah DNA yang akan diamplifikasi. Primer menguatkan dan mencangkok target sikuen, satu dari setiap rantai DNA. Primer menentukan fragmen yang akan diamplifikasi dan DNA polymerase mereplikasi DNA dengan memanfaatkan empat deoksiribonukelotida (dGTP, dATP, dCTP, dTTP) yang disediakan di dalam tabung reaksi. Pada sebuah siklus amplifikasi, DNA didenaturasi pada temperatur tinggi, annealing primer dilakukan dengan menurunkan temperatur dan DNA polymerase memperpanjang DNA dari primer. Pengulangan siklus denaturasi, annealing primer, dan sintesis DNA menghasilkan DNA melalui amplifikasi secara eksponensial. Sekitar 25 sampai 40 siklus pada umumnya digunakan di dalam thermalcycler, yaitu sebuah alat yang secara otomatis mengontrol temperatur dan waktu. Suatu DNA polymerase khusus yaitu Taq polymerase stabil pada suhu tinggi, yang diisolasi dari suatu bakteri thermofilik, Thermus aquaticus, yang hidup di sumber air panas. Produk hasil PCR dianalisis menggunakan elektroforesis gel (Barnum, 2005).
Identifikasi secara tepat spesies yang menginfeksi tanaman sangat penting untuk tindakan yang akan diterapkan dalam hal mengendalikan penyakit tersebut. Untuk virus yang memiliki tipe genom RNA digunakan teknik RT-PCR. Enzim transkriptase balik (reverse trancriptase) yang digunakan dalam RT-PCR adalah enzim DNA polimerase dan molekul RNA yang berperan sebagai cetakan didalam mensintesis molekul DNA (cDNA) yang komplementer. RT-PCR adalah metode yang sangat sensitif, cepat dan banyak digunakan untuk mendeteksi virus tanaman seperti ChiVMV, Chysanthemum B carlavirus (CVB) (Tsai et al., 2008).
Metode RT-PCR adalah metode yang lebih dapat dipercaya dan lebih sensitif sebagai metode pendeteksian virus atau indexing. Pada kajian biologi, sering terjadi bahwa virus tidak terdeteksi, tetapi menunjukkan hasil positif dengan metode serologi dan RT-PCR yang dapat mendeteksi virus pada konsentrasi rendah (Moury et al., 2005). Analisis perunutan nukleotida dan asam amino saat ini memiliki peranan yang tidak kalah penting didalam melakukan deteksi dan karakterisasi virus. Berdasarkan hasil analisis perunutan nukleotida dan asam amino dapat diketahui tingkat kesamaan nukleotida dan dapat menentukan kelompok suatu virus maupun strain-strain dari virus yang sama (Shukla et al., 1994).

2.5. Langkah Deteksi Virus Dengan RT-PCR
1. Pengumpulan Sampel
Survei dilakukan untuk mengumpulkan tanaman yang bergejala infeksi Potyvirus (mosaik, klorosis, keriting, nekrosis, dan kerdil). Survei dan contoh tanaman (sampel) cabai ditentukan 5 tanaman dari lokasi berbeda dengan tujuan mendapatkan tanaman yang positif terinfeksi Potyvirus. Pengambilan sampel daun-daun pucuk dari tanaman-tanaman cabai yang menunjukkan gejala infeksi Potyvirus untuk verifikasi jenis virus. Daun-daun pucuk cabai dipetik kemudian secara terpisah dimasukkan ke dalam tabung gelas berdiameter 2,5 cm dan panjang 15 cm yang telah diisi separuh volumenya dengan serbuk CaCl3 kemudian ditutup rapat-rapat hingga dalam keadaan kedap udara. Bahan higroskopis ini akan menyebabkan sampel daun mengering dan terawetkan namun tidak mempengaruhi viabilitas maupun sifat intrinsik virus yang mungkin terkandung di dalamnya.

2. Ekstraksi RNA Total
Total RNA diekstraksi dari jaringan daun tanaman cabai menggunakan Thermo scientific GeneJET Plant RNA Purification Mini Kit. Sebanyak 0.1 g sampel daun digerus menggunakan pistil dan mortar dengan bantuan nitrogen cair hingga terbentuk bubuk. Serbuk hasil gerusan ditambahkan 500 μl buffer plant RNA lisis + 5 μl β-mercaptoethanol, kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendorf (volume 1.5 ml) diinkubasi selama 3 menit pada suhu 56 0C. Hasil ekstraksi disentrifugasi 14.000 rpm selama 5 menit kemudian diambil supernatant (cairan) tanpa menyentuh pellet (endapan) yang dituang kedalam tabung eppendorf (volume 1.5 ml) yang baru, sambil diukur volumenya. Kemudian ditambahkan 250 μl etanol absolut 96% (dicampur dengan rata). Sampel dituangkan kedalam kolom warna merah (purifikasi kolom) yang telah diletakkan dalam tabung koleksi (volume 2 ml), kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 1 menit. Cairan hasil sentrifugasi dibuang karena RNA sudah terjerap pada purifikasi kolom, kemudian ditambahkan wash buffer 1 sebanyak 700 μl kedalam purifikasi kolom dan disentrifugasi selama 1 menit dengan kecepatan 11000 rpm. Cairan dalam tabung koleksi dibuang dan ditambahkan wash buffer 2 sebanyak 500 μl kedalam purifikasi kolom, sentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 1 menit kemudian cairannya dibuang. Ulangi langkah menambah wash buffer 2, setelah itu disentrifugasi dengan kecepatan 14000 rpm selama 1 menit. Kolom dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 ml baru, kemudian ditambahkan 30 μl RNAse free water dan diamkan selama 1 menit. Kolom tersebut kemudian disentrifugasi pada 13.000 rpm selama 2 menit untuk mendapatkan RNA murni. RNA total yang terbentuk disimpan pada suhu -80 0C dan dipakai sebagai bahan RT -PCR.

3. Amplifikasi Complementary (c) DNA
Complementary DNA (cDNA) dari proses RT diperbanyak lagi melalui proses PCR dengan menggunakan primer spesifik. Beberapa komponen yang dibutuhkan untuk satu kali reaksi PCR adalah sebagai berikut: 12.5 μl Go taq green, 8.5 μl ddH2O, 1 μl Primer F 10 mM, 1 μl Primer R 10 mM, 2 μl cDNA. Jumlah seluruh regaen dalam 1 reaksi adalah 25 μl.
Amplifikasi cDNA dilakukan dengan teknik PCR yang dilakukan dengan mengikuti prosedur (Jan et al., 2000) dengan pasangan primer yaitu: ChiVMV F Ind (5’-AACCTGAGCGTATAGTTTCA-3’) dan ChiVMV R Ind (5’-TACGCTTCAGCAAGATTGCT-3’). Kedua primer tersebut merupakan primer yang dapat mengamplifikasi bagian coat protein (CP) virus yang berukuran sekitar 900 bp (Jan et al., 2000). Amplifikasi dengan PCR dilakukan sebanyak 35 kali dengan tahapan sebagai berikut: predenaturasi pada suhu 94 0C selama 5 menit, denaturasi merupakan tahap dimana utas DNA berubah dari untaian ganda menjadi untain tunggal pada suhu 94 0C selama 1 menit, annealing dimana primer forward dan primer reverse menempel pada untai tunggal DNA pada masing-masing komplemennya terjadi pada suhu 50 0C selama 1 menit, sintesis DNA dan tahap elongasi/ekstensi pada suhu 72 0C selama 2 menit, tahap pemanjangan akhir terjadi pada suhu 72 0C selama 5 menit dan suhu 4 0C untuk suhu penyimpanan (Jan et al., 2000).

4. Visualisasi Hasil RT-PCR
Elektroforesis gel Agarose 1% dilakukan untuk mengetahui hasil PCR secara visual. Gel Agarose dibuat dengan 0,3 g Agarose dicampur dengan 30 ml buffer TBE 0.5x dan dipanaskan selama 2 sampai 3 menit sampai larut. Larutan tersebut didiamkan hingga suhunya hangat dan ditambahkan 1,5 μl Etidium bromide pada setiap 30 ml larutan Agarose. Larutan dituang ke dalam cetakan dan ditunggu hingga padat. Gel Agarose yang sudah padat kemudian dipindahkan pada alat elektroforesis. Produk PCR sebanyak 7 μl dan DNAmarker sebanyak 10 μl dimasukkan kedalam sumuran yang telah disiapkan pada gel Agarose. Elektroforesis dilakukan selama 60 menit dengan tegangan 50 Volt. DNA yang telah dielektroforesis kemudian divisualisasi dengan UV transiluminator.

5. Sikuen Nukleotida dan Analisis Filogenetika
Perunutan DNA CP- Potyvirus dari hasil amplifikasi PCR dapat dilakukan di PT. Genetika Sience Indonesia dengan primer yang telah ditentukan, misalnya ChiVMV F Ind dan ChiVMV R Ind. Sikuen gen coat protein (CP) dianalisis untuk mengetahui tingkat homologi dengan sikuen yang telah dideposit pada GeneBank dengan menggunakan software khusus, misalnya BLAST (Basic Local Alignment Search Tools) (NCBI 2014). Data sikuen nukeotida yang terpilih kemudian dimodifikasi dan analisis spesifisitas nukleotida dilakukan dengan menggunakan program multiple alignment, ClustalW dengan software Bioedit V. 7.0.5. Alignment dilakukan dengan membandingkan homologi isolat Potyvirus sampel dengan 11 isolat Potyvirus dari beberapa daerah atau negara dan 1 isolat CMV sebagai pembanding diluar grup (outgroup). Pohon filogenetika dikonstruksi menggunakan program MEGA 5.05 berdasarkan pendekatan Unweighted Pair Group Method with Aritmetic Mean (UPGMA).



III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1.   Identifikasi secara tepat sangat penting untuk tindakan yang akan diterapkan dalam hal mengendalikan penyakit.
2.   Bervariasinya gejala infeksi Potyvirus di lapangan, menyebabkan identifikasi secara langsung virus yang menginfeksi tanaman cabai sulit dilakukan.
3.   RT-PCR adalah metode yang sangat sensitif, cepat dan banyak digunakan untuk mendeteksi virus tanaman.

3.2. Saran
Dalam melakukan identifikasi penyakit yang disebabkan oleh potyvirus sebaiknya menggunakan teknik molekuler dengan cara RT-PCR karena akan menunjukkan hasil yang lebih jelas dan baik dibandingkan dengan identifikasi secara langsung.

Pengendalian Cucumber Mosaic Virus Menggunakan plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR)



I.  PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Cabai (Capsicum sp.) merupakan salah satu komoditas unggulan hortikultura di Indonesia yang bernilai ekonomi tinggi. Kebutuhan cabai selalu bertambah dari tahun ke tahun dan pada saat tertentu kebutuhan cabai sangat tinggi sehingga produksi nasional tidak mampu memenuhi permintaan (Suharsono et al., 2009). Beberapa faktor penyebab rendahnya produksi cabai di lapangan, diantaranya yaitu teknik budidaya, keberadaan hara dalam tanah serta serangan hama dan penyakit. Penyebab utama kegagalan panen pada cabai adalah infeksi patogen virus, maka usaha untuk mengatasi penyakit cabai akibat virus perlu mendapat perhatian (Suryaningsih et al., 1996).
Beberapa jenis virus dilaporkan dapat menginfeksi tanaman cabai di Indonesia yang menjadi salah satu faktor utama rendahnya produktivitas cabai (Duriat et al., 1995; Suryaningsih et al., 1996). Hasil laporan penelitian menunjukkan bahwa virus utama yang menyerang tanaman cabai salah satunya adalah cucumber mosaic virus (CMV) (Sulyo et al. 1995). Infeksi CMV dapat menyebabkan kerugian hasil panen pada tujuh kultivar cabai dari 32 sampai 75% (Sulyo et al. 1984). Bahkan hasil penelitian Sari et al. (1997) menunjukkan bahwa CMV dapat menurunkan jumlah dan bobot buah tiap tanaman berturut-turut sebesar 81.4 dan 82.3%.
Sampai saat ini masih banyak petani di Indonesia yang tetap mengandalkan pengendalian penyakit tumbuhan dengan pestisida kimia termasuk pengendalian penyakit yang disebabkan oleh CMV, Mereka masih sangat bergantung pada penggunaan insektisida untuk menekan populasi serangga vektornya, bahkan dengan frekuensi dan dosis penyemprotan yang melebihi anjuran. Tentunya tindakan ini dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, organisme bukan sasaran, terdapat residu pestisida dan tidak efektif untuk mengurangi populasi serangga vektor (Gallitelli 1998).
Pada beberapa percobaan telah dilakukan pengendalian virus secara ramah lingkungan, salah satunya dengan penggunaan plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR). Penggunaan PGPR sebagai agens hayati untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh virus tumbuhan masih sangat sedikit. Beberapa penelitian menunjukkan potensi penggunaan PGPR untuk mengendalikan berbagai jenis penyakit seperti CMV (Ryu et al. 2004), tomato mottle virus (Murphy et al. 2000), dan tobacco necrotic virus (Maurhofer et al. 1994). Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba untuk menulis makalah tentang penggunaan PGPR untuk pengendalian Cucumber Mosaic Virus (CMV) pada tanaman cabai.

1.2. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1.      Untuk memahami pengendalian virus tanaman secara ramah lingkungan
2.      Mempelajari pengendalian CMV dengan menggunakan PGPR



II. PEMBAHASAN

2.1. Cabai
Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan. Cabai berasal dari benua Amerika tepatnya daerah Peru dan menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk Negara Indonesia. Tanaman cabai banyak ragam tipe pertumbuhan dan bentuk buahnya. Cabai yang dibudidayakan di Indonesia yakni cabai besar, cabai keriting, cabai rawit dan paprika (Chairani, 2008).
Cahyono (2003) menjelaskan bahwa tanaman cabai diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi               : Spermatophyta
Sub divisio      : Angiospermae
Kelas               : Dicotyledoneae
Ordo                : Corolliforea
Famili             : Solanaceae
Genus             : Capsicum
 Spesies           : Capsicum sp.
            Satu buku biasanya keluar lebih dari satu buah. Daunnya bulat telur, dasarnya lebih lebar, ujung menyempit dan merucing, warna daun hijau muda, permukaan bawah berbulu, lebar 0,5-5 cm, panjang 1-10 cm, panjang tangkai 0,5-3,5 cm. Bunganya kecil, terletak pada ujung ranting, jumlahnya satu atau dua kadang-kadang lebih. Tangkai bunga tegak, panjangnya 1,5-2,5 cm, warnanya hijau muda. Kelopak bunga kecil, berbentuk bintang segi 5, warnanya hijau kekuningan. Mahkota bunga warna kuning-kehijauan, garis tengah 0,5-1 cm, bentuk bintang bersudut 5. Benang sari 5 buah, tegak, warna kepala benangsari ungu. Buahnya kecil, berbentuk kerucut, ujung runcing, tegak, dan tangkainya panjang, panjang buah 1-3 cm, garis tengah 0,3-1 cm, apabila sudah masak warnanya merah cerah, orange atau putih-kekuningan mengkilat. Dalam 1 gram terdapat kurang lebih 250-300 biji dan rasanya pedas sekali. Perakaran cabai merupakan akar tunggang yang terdiri atas akar utama (primer) dan akar lateral (sekunder). Dari akar lateral keluar serabut-serabut akar (akar tersier). Panjang akar primer berkisar 35-50 cm. Akar lateral menyebar sekitar 35-45 cm (Prajnanta, 2004).
            Tanaman cabai merupakan self-pollinated crop yaitu tanaman yang menyerbuk sendiri. Persilangan antar varietas secara alami masih mungkin terjadi di lapangan yang dapat menghasilkan ras-ras cabai baru dengan sendirinya (Cahyono, 2003). Daerah dataran rendah yang tanahnya gembur dan kaya bahan organik tanaman cabai akan dapat tumbuh dengan baik. Umur tanaman cabai dapat mencapai 2-3 tahun (Nawangsih et al., 1999; Cahyono, 2003). Tanaman cabai secara geografis dapat tumbuh pada ketinggian 0-1200 m di atas permukaan laut. Daerah dataran tinggi yang berkabut dan kelembabannya tinggi, tanaman cabai mudah terinfeksi penyakit. Cabai akan tumbuh baik pada daerah yang rata-rata curah hujan tahunannya antara 600-1250 mm dengan bulan kering 3-8,5 bulan dan tingkat penyinaran matahari lebih dari 45% (Suwandi et al., 1997). Dalam budidaya tanaman cabai, terdapat kendala yang menyebabkan tanaman menjadi tidak baik, cepat mati dan hasil tanaman menjadi rendah bahkan gagal panen. Salah satu penyebabnya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus. Menurut Opriana (2009), infeksi virus akan mengganggu pembentukan buah cabai. Beberapa buah yang dihasilkan akan nampak belang-belang, dan hal ini akan berdampak pada kehilangan hasil secara signifikan.

2.2. Cucumber Mosaic Virus (CMV)
Cucumber mosaic virus (CMV) adalah virus tanaman yang berbentuk  polyhedral dengan diameter 28 nm, menginteksi lebih dari 775 spesies tumbuhan dalam 67 famili dan dapat ditularkan oleh 75 spesies afid secara non-persistent (Murant dan Mayo, 1982).
CMV mempunyai kisaran inang yang sangat luas, terdapat pada tanaman sayuran, tanaman hias dan tanaman buah-buahan. Selain menyerang tanaman ketimun, virus mosaic ketimun juga dapat menyerang melon, labu, cabai, bayam, tomat, seledri, bit, tanaman polong-polongan, pisang, tanaman famili Crucitereae, delphinium, gladiol, lili, petunia, zinia dan beberapa jenis gulma (Agrios,1988).
Di beberapa negara, virus mosaik ketimun telah menyebabkan penyakit yang berat pada tanaman tertentu. Virus mosaic ketimun terdapat hampir di semua negara dan strain yang berbeda sifat biologinya telah dilaporkan dari berbagai tempat. Virus mosaik ketimun mempunyai banyak strain, oleh karena itu mempunyai jumlah inang yang banyak serta gejala yang ditimbulkan beragam.
Virus mosaik ketimun mempunyai tiga genom RNA untai tunggal yang disebut RNA-1, RNA-2 dan RNA-3, serta RNA-4 yang merupakan sub genom dari RNA-3. bobot molekulnya (X 106) masing-masing adalah 2.7,1.13,0.82 dan 0.36 (Takanami, Kubo dan Imaizumi, 1977). RNA-1 dan RNA-2 adalah bagian yang terpisah, tetapi RNA-3 dan RNA-4 terbungkus bersama (Lot dan Kaper, 1976). Selain komponen RNA tersebut, juga dilaporkan komponen lain denganbobotmolekul (X106) adalah 0.26 (RNA-4a) , 0.11 (RNA-5), 0.01-0.05 (RNA-6) dan 0.5 (RNA-X) (Peden dan Symons, 1973). Hanya RNA-5 yang telah banyak dipelajari lebih lanjut (Murant dan Mayo, 1982).
RNA-5 adalah salah satu satelit RNA dari virus mosaic ketimun, karena multiplikasinya bergantung pada virus mosaic ketimun serta tidak esensial untuk replikasi virus mosaik ketimun (Murant dan Mayo, 1982). Untuk membedakan dengan RNA lain, maka satelit RNA-5 yang terdapat pada virus mosaic ketimun disebut CARNA (=RNA-5 yang berasosiasi dengan CMV) (Kaper dan Tousignant, 1977).
Jumlah satelit RNA-5 yang terdapat  pada virus mosaik ketimun sangat beragam, bergantung pada strain virus mosaik ketimun sebagai virus penolong dan spesies tanaman inang. Pada kebanyakan isolat virus mosaik  ketimun jumlah satelitnya sedikit dan sering tidak terdeteksi bila diperbanyak pada Cucurbita papo, tetapi meningkat jumlahnya setelah ditularkan ulang pada Nicotiana tabacum (Kaper dan Tousignant, 1977). Dengan meningkatnya jumlah satelit, jumlah virus penolong dan infektifitasnya menurun. Hal ini disebabkan adanya persaingan RNA satelit dengan RNA virus mosaik ketimun dalam replikasinya (Murant dan Mayo, 1982).
Pada tahun 1977 isolat CMV (S) yang mengandung RNA satelit ditemukan merangsang penyakit nekrotik fetal  pada tomat (Lycopersicon esculentum) menggantikan gejala klorosis dan daun pakis (fern-leaf) yang secara normal merupakan gejala yang disebabkan oleh CMV (S) sendiri (Murant dan Mayo, 1982).
Pada dua strain virus mosaic ketimun lain, penambahan RNA satelit ke inokulum virus mosaic ketimun menyebabkan gejala nekrotik berat yang sama pada tomat, tetapi menyebabkan pelemahan gejala pada cabai (Capsicum frutescens), jagung manis (Zea mays), tembakau dan beberapa inang lain. Strain CMV (JY) yang mengandung satelit RNA menyebabkan nekrotik letal I pada tomat, tetapi juga menyebabkan mosaic kuning yang jelas pada tembakau dan beberapa spesies Nicotiana yang lain. Sedangkan gejalanya tanpa satelit  adalah mosaik  kuning (Takanami,1981) (Siregar, 2003).

2.3. Plant Growth-Promoting Rhizobacteria (PGPR)
Bakteri-bakteri yang hidup di sekitar perakaran ada yang menguntungkan. Bakteri ini sering disebut dengan rizobakteri pemacu tumbuh tanaman (RPTT) atau popular disebut plant growth promoting rhizobacteria (PGPR). Aktivitas rizobakteria ini memberi keuntungan langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung PGPR ini didasarkan atas kemampuannya menyediakan dan memobilisasi atau memfasilitasi penyerapan berbagai unsur hara dalam tanah serta mensintesis dan mengubah konsentrasi berbagai fitohormon pemacu tumbuh (Husen et al., 2006).
Jenis-jenis agens hayati dari kelompok bakteri yang pernah diteliti telah dirangkum oleh Sadler (2005), yang meliputi Bacillus spp., B. cereus, B. polymyxa, B. subtilis, Burkholderia glume, Corynebacterium sp., Escherichia sp., Pseudomonas aeruginosa, P. fluorescens, Streptomyces mutabilis, dan actinomycetes. Diantara spesies bakteri tersebut, B. polymyxa dan Curtobacterium (Corynebacterium) flaccumfaciens pv. Flaccumfaciens perlu diwaspadai karena berpotensi menjadi patogen pada tanaman. Menurut Nivedhitha et al. (2008), tiga bakteri dan satu Actinomycetes yang diisolasi dari rizosfer bambu menunjukkan daya hambat terhadap pertumbuhan Fusarium, meningkatkan pertumbuhan tanaman, dan bertambahnya jumlah daun. Selanjutnya menurut Minorsky (2008), bakteri P. fluorescens B16 yang diisolasi dari perakaran tanaman Graminae menunjukan adanya kolonisasi yang dapat meningkatkan hasil, menambah jumlah bunga, menambah jumlah buah, dan berat buah tomat. Kemampuan untuk menfiksasi nitrogen, melarutkan fosfat, memproduksi senyawa siderofor dan hidrogen sianida (HCN), enzim kitinase, protease, dan selulosa merupakan karakteristik rizobakteri yang diinginkan (Zhang, 2004). Oleh karena itu untuk memperoleh rizobakteri yang berpotensi perlu dievaluasi berbagai karakter tersebut. Salah satu kemampuan rizobakteri dari kelompok Bacillus spp. Dan Pseudomonas spp. yang telah dilaporkan adalah mampu melarutkan fosfat (Faccini et al., 2004). Selain itu P. fluorescens merupakan salah satu mikroorganisme antagonis yang diteliti secara intensif dan berpotensi besar untuk pengendalian beberapa penyakit (Hasanuddin, 2003).
Aplikasi PGPR dapat menginduksi ketahanan sistemik tanaman (Raupach et al. 1996; Van Loon et al. 1998). Ketahanan sistemik terinduksi dicirikan oleh akumulasi asam salisilat (SA) dan pathogenesis-related protein (PR-protein), misalnya peroksidase (Agrios 1997). Menurut Kloepper (1996), ketahanan sistemik terinduksi (induced systemic resistance) bergantung pada kolonisasi sistem perakaran oleh PGPR. Kolonisasi oleh PGPR dapat terjadi melalui penyelubungan benih atau penambahan suspensi PGPR ke dalam tanah pada saat pindah tanaman. Fenomena peningkatan ketahanan tanaman secara terinduksi dapat melalui proses SAR (Systemic Aqcuired Resistance) atau ISR (Induced Systemic Resistance) yang melibatkan berbagai jenis gen, enzim dan protein. Baik SAR maupun ISR sama-sama penting peranannya untuk meningkatkan ketahanan tanaman. Induksi ketahanan dapat dipacu oleh beragam bahan penginduksi (elisitor), baik hayati maupun kimia (Pieterse et al., 2009).
Menurut Pieterse et al. (2009) peningkatan ketahanan tanaman melalui SAR terjadi setelah adanya infeksi patogen secara lokal pada tanaman, kemudian tanaman yang terinfeksi mengaktifkan gen-gen yang berperan dalam ketahanan (pathogenic related genes; PR) yang memproduksi senyawa-senyawa kimia untuk pertahanan tanaman, seperti asam salisilat (SA). Apabila tanaman yang sudah terinduksi ketahanannya, terinfeksi lagi oleh patogen lain maka tanaman akan dapat mempertahankan dirinya sehingga infeksi patogen tidak berkembang atau terlokalisasi akibat sel-sel tanaman di sekitar tempat infeksi mati. Kematian sel dalam proses tersebut biasa disebut sebagai reaksi hipersensitif (HR). Sedangkan pemicu peningkatan ketahanan melalui ISR terjadi bukan karena infeksi patogen, tetapi oleh adanya infeksi mikrobia non patogen pada perakaran, seperti bakteri, jamur atau mikoriza. Respon tanaman terhadap adanya infeksi mikrobia nonpatogen, tanaman akan memproduksi senyawa-senyawa pertahanan tanaman, seperti asam jasmonat (JA) dan senyawa etilen (ET). Aktivasi senyawa pertahanan tersebut tidak berhubungan dengan peran gen-gen pertahanan (PR) seperti halnya pada SAR. Ramamoorthy et al. (2001) memaparkan bahwa mekanisme ISR terjadi sebagai akibat perubahan fisiologi tanaman yang kemudian menstimulasi terbentuknya senyawa kimia yang berguna dalam pertahanan terhadap serangan patogen. Perubahan fisiologi tersebut dapat berupa modifikasi struktural dinding sel atau perubahan reaksi biokimia pada tanaman inang. Ilustrasi tentang proses peningkatan ketahanan tanaman melalui mekanisme SAR dan ISR dilukiskan oleh Pieterse et al. (2009).
Khalimi dan Suprapta (2011) melaporkan bahwa bakteri Pseudomonas aeruginosa dapat meningkatkan ketahanan tanaman kedelai terhadap virus soybean stunt virus (SSV), melalui mekanisme induced sistemic resistance (ISR). Tanaman dengan perlakuan Pseudomonas aeruginosa memiliki kejadian penyakit pada kisaran 15% sampai 80% lebih rendah dibanding dengan tanaman tanpa perlakuan yang mencapai 90%. Serratia marcescens dilaporkan juga dapat menginduksi ketahanan sistemik (ISR) terhadap penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi, bakteri, dan virus (Press et al., 1997).
Isolat KF salah satu isolat yang paling baik dalam menurunkan tingkat keparahan penyakit SMV pada penelitian ini berkerabat dekat dengan bakteri Serratia marcescens. Penelitian yang dilakukan Thapa et al. (2009) pemberian Serratia marcescens pada daun tanaman tembakau dapat menurunkan kejadian penyakit yang disebabkan virus cucumber mosaic virus (CMV). Tanaman tembakau yang diberi perlakuan memiliki kejadian penyakit kurang dari 59%, sementara tanaman kontrol mencapai 100%. Ryu et al. (2004) melaporkan penelitiannya bahwa perlakuan dengan salah satu strain dari Serratia marcescens dapat menurunkan gejala penyakit CMV yang terjadi pada tanaman Arabidopsis thaliana.


III.  PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1.      Cabai merupakan salah satu komoditas unggulan hortikultura di Indonesia yang bernilai ekonomi tinggi.
2.      Beberapa faktor penyebab rendahnya produksi cabai di lapangan, diantaranya yaitu teknik budidaya, keberadaan hara dalam tanah serta serangan hama dan penyakit.
3.      Penyebab utama kegagalan panen pada cabai adalah infeksi patogen virus.
4.      Virus utama yang menyerang tanaman cabai salah satunya adalah cucumber mosaic virus (CMV).
5.      Penggunaan PGPR sebagai agens hayati untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh virus menunjukkan potensi penggunaan PGPR untuk mengendalikan CMV.
6.      Aktivitas rizobakteria ini memberi keuntungan langsung maupun tidak langsung.
7.      Aplikasi PGPR dapat menginduksi ketahanan tanaman.
8.      ketahanan tanaman secara terinduksi dapat melalui proses SAR (Systemic Aqcuired Resistance) atau ISR (Induced Systemic Resistance) yang melibatkan berbagai jenis gen, enzim dan protein.
9.       Tanaman yang teah terinduksi akan memproduksi senyawa-senyawa kimia untuk pertahanan tanaman, seperti asam salisilat (SA), asam jasmonat (JA) dan senyawa etilen (ET) serta akan melakukan perubahan fisiologi berupa modifikasi struktural dinding sel atau perubahan reaksi biokimia pada tanaman inang.

3.2. Saran
Pengendalian Cucumber Mosaic Virus dapat dilakukan dengan PGPR, namun untuk menggunakan PGPR harus melakukan uji karena beberapa bakteri dapat bersifat patogen terhadap tanaman.