Menu

Friday, December 2, 2016

Induksi Ketahanan Tanaman Jagung Terhadap Penyakit Bulai dengan Agensia Hayati


Pendahuluan

Jagung merupakan komoditas tanaman palawija utama di Indonesia yang banyak digunakan sebagai bahan baku pangan dan pakan (Sarasutha, 2002). Jagung banyak dikembangkan di Indonesia untuk digunakan sebagai bahan makanan, pakan ternak dan bahan baku industry. Jagung merupakan salah satu tanaman serealia yang banyak dibudidayakan di berbagai daerah di Indinesia karena memiliki kegunaan yang cukup beragam dan kesesuaian lingkungan tumbuh dengan mayoritas kondisi lingkungan di Indonesia. (Adisarwanto dan Widyastuti, 2000). Beberapa tahun terakhir terjadi penurunan produksi jagung di wilayah Indonesia.
Penurunan produksi disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu serangan penyakit yang menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Salah satu penyakit yang menyerang tanaman jagung yaitu penyakit bulai yang disebabkan oleh Peronoclerospora maydis. Penyakit bulai merupakan penyakit utama paling berbahaya di Indonesia, karena dapat menyebabkan kerusakan antara 90 - 100% atau puso terutama pada varietas jagung yang rentan terhadap penyakit bulai. Tanaman jagung yang terinfeksi patogen penyebab bulai dapat menimbulkan gejala sistemik (Semangun, 1993).
Pengendalian bulai menggunakan fungisida merupakan salah satu cara yang sampai saat ini masih banyak dilakukan. Penggunaan fungisida secara terus menerus dapat mengakibatkan timbulnya ketahanan jamur patogen terhadap fungisida. Hasil penelitian di Yogyakarta menunjukan adanya strain jamur yang tahan terhadap fungisida secara in vitro dan di rumah kaca. Penggunaan metalaksil secara intensif untuk mengendalikan penyakit bulai pada jagung telah menimbulkan strain Peronosclerospora maydis yang tahan (Sumardiyono, 2008). Pada saat sekarang ini sedang dikembangkan pengendalian dengan induksi ketahana dari tanaman. Induksi ketahanan merupakan proses ketahanan aktif yang tergantung pada penghalang fisik atau kimia tanaman inang, yang diaktifkan oleh agensia biotik atau abiotik (agensia pengimbas), yang dapat melindungi tanaman terhadap patogen tanah atau dedaunan. Ketahanan terimbas ini dikenali sebagai cara pengendalian hayati yang penting pada jaringan vegetatif (Soesanto, 2008). Beberapa penginduksi yang sedang dipelajari dan dikembangkan sekarang adalah agensia hayati yang diantaranya adalah Bakteri Bacillus sp. dan Pseudomonas sp.

Jagung

Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman pangan yang menduduki perinkat kedua setelah padi di Indonesia dan salah satu jenis tanaman serealia dari keluarga rumput-rumputan. Kandungan gizi yang terdapat pada jagung meliputi pati (72-73%), kadar gula sederhana jagung (glukosa, fruktosa, dan sukrosa) berkisarantara 1-3%. Protein jagung (8-11%) terdiri atas lima fraksi, yaitu: albumin, globulin, prolamin, glutelin, dan nitrogen nonprotein (Suarni dan Widowati, 2012). Jagung adalah tanaman berhari pendek atau tanaman semusim yang dapat dipanen berumur sekitar 80-150 hari. Jagung memiliki akar serabut, batang jagung terdiri atas ruas dan buku, kokoh, tegak dan tidak banyak mengandung lignin. Ruas batang terbungkus pelepah daun yang muncul dari buku-buku. Jagung memiliki daun dengan bentuk memanjang yang muncul dari ruas-ruas batang, tulang daun sejajar dengan ibu tulang daun. Jagung memiliki bunga jantan dan bunga betina yang terpisah dalam satu tanaman sehingga dapat terjadi penyerbukan silang. Bunga jantan tumbuh di bagian pucuk tanaman, sedangkan bunga betina tersusun dalam tongkol jagung (Subekti et al., 2010).
Pada setiap tanaman jagung terdapat bunga jantan dan bunga betina yang letaknya terpisah. Bunga jantan terdapat pada malai bunga di ujung tanaman, sedangkan bunga betina terdapat pada tongkol jagung. Bunga betina ini biasanya disebut tongkol selalu dibungkus kelopak-kelopak yang jumlahnya sekitar 6-14 helai. Tangkai kepala putik merupakan rambut atau benang yang terjumbai di ujung tongkol sehingga kepala putiknya menggantung di luar tongkol. Bunga jantan yang terdapat di ujung tanaman masak lebih dahulu daripada bunga betina (Wakman dan Burhanuddin, 2007). Menurut Wakman dan Burhanuddin (2007) daerah yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung yaitu daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim subtropis/tropis basah. Jagung dapat tumbuh baik di daerah yang terletak antara 50° LU - 40° LS. Pada lahan yang tidak beririgasi memerlukan curah hujan ideal sekitar 85 - 200 mm/bulan selama masa pertumbuhan. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung untuk pertumbuhan terbaiknya antara 27° - 32° C. Pada proses perkecambahan benih jagung memerlukan suhu sekitar 30 °C. tanaman jagung dalam proses budidaya mengalami serangan penyakit diantaranya yaitu penyakit bulai.

Bulai

Penyakit bulai pada tanaman jagung masih menjadi masalah utama dalam budidaya tanaman jagung. Hal ini karena penyakit bulai dapat mengakibatkan puso dan penyebarannya yang sangat luas di beberapa negara penghasil jagung di dunia. Negara- negara pengahsil jagung di dunia seperti Filipina, Thailand, India, Afrika, Indonesia, dan Amerika (Shurtleff, 1980 dalam Semangun, 2004).
            Gejala sistemik terjadi jika infeksi ini meluas dan mencapai titik tumbuh tanaman jagung sedangkan gejala lokal infeksi hanya sebatas pada daun saja tidak mencapai titik tumbuh tanaman. Gejala yang ditimbulkan pada tanaman jagung dapat berupa bercak berwarna klorotik memanjang searah tulang daun dengan batas yang jelas dan adanya tepung berwarna putih di bawah permukaan daun tersebut (terlihat lebih jelas saat pagi hari). Ciri-ciri lain dari gejala penyakit bulai pada tanaman jagung yaitu daun yang mengalami klorosis karena infeksi patogen bulai menjadi sempit dan kaku, petumbuhan tanaman terhambat, bahkan tidak menghasilkan tongkol, dan tanaman muda yang terserang bulai biasanya akan mati (umur tanaman dibawah 1 bulan (Semangun, 2004).

 Sumber : Jatnika et al., (2013)

Penyakit bulai disebabkan oleh Peronosclerospora maydis. P. maydis akan dapat menginfeksi tanaman jagung jika tersedia air, baik air embun maupun air hujan dan air gutasi. Dalam proses infeksi penyakit bulai oleh P. maydis dipengaruhi oleh umur tanaman dan daun yang diinfeksi. Tanaman jagung yang berumur lebih dari 3 minggu dan daun yang berumur tua cukup tahan terhadap infeksi dan jika semakin muda tanaman atau daun yang terinfeksi maka semakin rentan terhadap infeksi P. maydis (Semangun, 2004). P. maydis bersifat parasit obligat sehingga tidak dapat bertahan hidup pada tanah ataupun seresah (saprofitik). Oleh karena itu P. maydis harus bertahan dari musim ke musim pada tanaman hidup atau pada benih jagung. Infeksi konidiofor P. maydis dari permukaan daun menembus jaringan tanaman melalui stomata tanaman muda dan lesio lokal berkembang ke titik tumbuh yang menyebabkan infeksi sistemik (Wakman dan Burhanudin, 2007).
Pengendalian penyakit bulai pada jagung yang sering dilakukan dengan fungisida metalaksil pada benih jagung, menanam varietas jagung tahan penyakit bulai, eradikasi tanaman jagung terserang penyakit bulai, penanaman jagung secara serempak dan periode bebas tanaman jagung (Wakman dan Burhanudin, 2007). Pada saat sekarang ini dikembangkan pengendalian penyakit bulai dengan induksi ketahan tanaman (Jatnika et al., 2013).

Ketahanan Terinduksi

Ketahanan sistemik terinduksi dicirikan oleh akumulasi asam salisilat (SA) dan pathogenesis-related protein (PR-protein), misalnya peroksidase (Agrios, 1997). Menurut Kloepper (1996), ketahanan sistemik terinduksi (induced systemic resistance) bergantung pada kolonisasi sistem perakaran oleh mikrobia. Kolonisasi oleh mikrobia dapat terjadi melalui penyelubungan benih atau penambahan suspensi mikroba ke dalam tanah pada saat pindah tanaman. Fenomena peningkatan ketahanan tanaman secara terinduksi dapat melalui proses SAR (Systemic Aqcuired Resistance) atau ISR (Induced Systemic Resistance) yang melibatkan berbagai jenis gen, enzim dan protein. Baik SAR maupun ISR sama-sama penting peranannya untuk meningkatkan ketahanan tanaman. Induksi ketahanan dapat dipacu oleh beragam bahan penginduksi (elisitor), baik hayati maupun kimia (Pieterse et al., 2009).
Menurut Pieterse et al. (2009) peningkatan ketahanan tanaman melalui SAR terjadi setelah adanya infeksi patogen secara lokal pada tanaman, kemudian tanaman yang terinfeksi mengaktifkan gen-gen yang berperan dalam ketahanan (pathogenic related genes; PR) yang memproduksi senyawa-senyawa kimia untuk pertahanan tanaman, seperti asam salisilat (SA). Apabila tanaman yang sudah terinduksi ketahanannya, terinfeksi lagi oleh patogen lain maka tanaman akan dapat mempertahankan dirinya sehingga infeksi patogen tidak berkembang atau terlokalisasi akibat sel-sel tanaman di sekitar tempat infeksi mati. Kematian sel dalam proses tersebut biasa disebut sebagai reaksi hipersensitif (HR). Sedangkan pemicu peningkatan ketahanan melalui ISR terjadi bukan karena infeksi patogen, tetapi oleh adanya infeksi mikrobia non patogen pada perakaran, seperti bakteri, jamur atau mikoriza.
Respon tanaman terhadap adanya infeksi mikrobia nonpatogen, tanaman akan memproduksi senyawa-senyawa pertahanan tanaman, seperti asam jasmonat (JA) dan senyawa etilen (ET). Aktivasi senyawa pertahanan tersebut tidak berhubungan dengan peran gen-gen pertahanan (PR) seperti halnya pada SAR. Ramamoorthy et al. (2001) memaparkan bahwa mekanisme ISR terjadi sebagai akibat perubahan fisiologi tanaman yang kemudian menstimulasi terbentuknya senyawa kimia yang berguna dalam pertahanan terhadap serangan patogen. Perubahan fisiologi tersebut dapat berupa modifikasi struktural dinding sel atau perubahan reaksi biokimia pada tanaman inang. Ilustrasi tentang proses peningkatan ketahanan tanaman melalui mekanisme SAR dan ISR dilukiskan oleh Pieterse et al. (2009). Agensia hayati yang dapat dijadikan inducer diantaranya adalah Pseudomonas spp (Khalimi dan Suprapta, 2011) dan Bacillus spp (Hamdan et al., 1991).
Pseudomonas spp

P. fluorescens mampu mengklon dan beradaptasi dengan baik pada akar tanaman serta menggunakan eksudat akar untuk mensintesis metabolit yang mampu menghambat pertumbuhan dan aktifitas pathogen atau memicu ketahanan sistemik dari tanaman terhadap patogen (Susanna, 2000). P. fluorescens dapat menekan perkembagan penyakit tanaman dengan beberapa cara yaitu: kompetisi terhadap unsur besi (Fe) dan unsur karbon, memproduksi antibiotik dan HCN, merangsang akumulasi fitoaleksin sehingga tanaman lebih resisten serta mengkolonisasi akar dan menstimulasi pertumbuhan tanaman (Susanna, 2000).
            Khalimi dan Suprapta (2011) melaporkan bahwa bakteri Pseudomonas aeruginosa dapat meningkatkan ketahanan tanaman kedelai terhadap virus soybean stunt virus (SSV), melalui mekanisme induced sistemic resistance (ISR). Tanaman dengan perlakuan Pseudomonas aeruginosa memiliki kejadian penyakit pada kisaran 15% sampai 80% lebih rendah dibanding dengan tanaman tanpa perlakuan yang mencapai 90%. Hasil penelitian Jatnika et al., (2013) melaporkan bahwa Pseudomonas sp. dapat menekan sporulasi jamur patogen P. maydis, mampu menekan penyakit bulai dan meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung.

Bacillus spp

Pada umumnya Bacillus spp. dapat digunakan sebagai agens biokontrol Bakteri Bacillus spp. yang bersifat antagonis mampu menekan pertumbuhan mikroorganisme lain karena memproduksi antibiotik berupa lipopeptida yang disebut basitrasin dengan mekanisme merusak membran sel bakteri (Desmawati, 2006). Jenis metabolit sekunder lain yang diproduksi Bacillus spp. adalah biosurfaktan yang disebut surfaktin atau subtilisin. Surfaktin merupakan lipopeptida siklik yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan air dan juga bersifat antibiotik (Dirmawati, 2004).
Bacillus spp., memiliki aktivitas antifungal yang tinggi dan berperan dalam menekan beberapa fungi yang bersifat patogen, seperti Rhizoctonia, Fusarium  dan Aspergillus (Desmawati, 2006). Selain memiliki kemampuan dalam menekan perkembangan fitopatogen, Bacillus spp. pun diketahui dalam mendukung pertumbuhan tanaman. Beberapa dari bakteri antagonis mampu menghasilkan senyawa-senyawa yang dapat mengakibatkan pertumbuhan cendawan terhambat (Hamdan et al., 1991). penelitian Sadoma et al. ,(2011), penggunaan Bacillus sp. mampu menekan P. maydis penyebab penyakit bulai jagung. Hasil penelitian Jatnika et al., (2013) melaporkan bahwa bacillus spp. dapat menekan sporulasi jamur patogen P. maydis, mampu menekan penyakit bulai dan meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung.

Kesimpulan

1.     Pengendalian penyakit bulai yang disebabkan oleh P. maydis dapat dilakukan dengan induksi ketahanan tanaman.
2.      Induksi ketahanan dapat menggunakan agensia hayati diantaranya Pseudomonas spp dan Bacillus spp.
3.      Pseudomonas spp dan Bacillus spp dapat menginduksi ketahanan tanaman jagung sehingga dapat menekan sporulasi jamur P. maydis, menekan penyakit bulai dan meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung.

Daftar Pustaka
Adisarwanto dan Widyastuti. 2000. Teknik Bertanam Jagung. Kanisius. Yogyakarta.
Agrios, G. N. 1997. Plant Pathology. Academic Press. London.
Desmawati. 2006. Pemanfaatan plant growth promoting rhizobacter (PGPR) prospek yang menjanjikan dalam berusaha tani tanaman holtikultura. POPT Direktorat Perlindungan Tanaman Holtikultura. Ditjen Holtikultura.
Dirmawati. 2004. Kajian Keefektifan Beberapa Komponen Pengendalian Ramah Lingkungan terhadap Penyakit pustul Bakteri Kedelai. Sekolah Pascasarjana IPB. Disertasi.
Hamdan, H., Weller, D.M., Thomashow, L.S. 1991. Relative Importance of Fluorescent Siderophores and Other Factors in Biological Control of Gaeumannomyces graminis var tritici by UB-PF2-79 and M4-80R. Applied and Environmental Microbiology. 57(11):3270-3277.
Jatnika, W., Abdul L. A dan Luqman Q. A. 2013. Pengaruh aplikasi Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. terhadap perkembangan penyakit bulai yang disebabkan oleh jamur patogen Peronosclerospora maydis pada tanaman jagung. Jurnal HPT Volume 1 Nomor 4 hal 19-29
Khalimi, K. & Suprapta, D.N. 2011. Induction of plant resistance against soybean stunt virus using some formulations of Pseudomonas aeruginosa. J. ISSAAS. 17 (1): 98-105.
Kloepper, J.W. and Tuzun, S. 1996. Induced systemic to diseases and increased plant growth-promoting rhizobacteria under field conditions. Phytopathology. 81: 1508-1516.
Pieterse, C.M.J., Leon-Reyes, A., Van der Ent, S., and Van Wees, S. C M. 2009. Networking by small-molecule hormones in plant immunity. Nat. Chem. Biol. 5: 308-316.
Ramamoorthy, V., Viswanathan, R., Raguchandar, J., Prakasham, T. and Samiyappan, R. 2001. Induction of systemic resistance by plant growth promoting rhizobacteria in crop plants against pest and diseases. Crop Protection, 20: 1-11.
Sadoma, M.T., El-Sayed, A.B.B., and El-Moghazy, S.M. 2011. Biological Control of Downy mildew Disease of Maize Caused by Peronosclerospora sorghi Using Certain Biocontrol Agents Alone or In Combination. J. Agric. Res. Kafer El-Sheikh Univ. 37 (1) 2011.
Sarasutha, I. G. P. 2002. Kinerja Usahatani dan Pemasaran Jagung di Sentra Produksi. Jurnal Litbang Pertanian Vol. 21. No.2. hlm 38 – 47.
Semangun, H. 1993. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press.
Semangun, H. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan Di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soesanto, L. , 2008. Pengantar Pengendalian hayati Penyakit Tanaman Suplemen ke Gulma dan nematode. Rajawali-Press, Jakarta. Hlm.292 - 299.
Suarni, dan S. Widowati. 2006. Struktur, komposisi, dan nutrisi jagung. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Makassar : 410-426.
Subekti N. A., Syafruddin, Roy E., dan Sri S. 2010. Morfologi Tanaman dan Fase Pertumbuhan Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. Hal 16-27.
Sumardiyono, C. 2008. Ketahanan jamur terhadap fungisida di Indonesia. Jurnal Perlindungn Tanaman Indonesia 14 : 1-5.
Susanna. 2000. Analisis Introduksi Mikaroorganisme Antagonisme Untuk Pengendalian Hayati Penyakit Layu Pisang (Fusarium oxysporum f.sp.cubense) pada Pisang (Musa sapientum L.). Skripsi. IPB. Bogor.
Wakman, W dan Burhanuddin. 2007. Pengelolaan Penyakit Prapanen Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros.



No comments:

Post a Comment