Pendahuluan
Jagung
merupakan komoditas tanaman palawija utama di Indonesia yang banyak digunakan
sebagai bahan baku pangan dan pakan (Sarasutha, 2002). Jagung banyak
dikembangkan di Indonesia untuk digunakan sebagai bahan makanan, pakan ternak
dan bahan baku industry. Jagung merupakan salah satu tanaman serealia yang
banyak dibudidayakan di berbagai daerah di Indinesia karena memiliki kegunaan
yang cukup beragam dan kesesuaian lingkungan tumbuh dengan mayoritas kondisi
lingkungan di Indonesia. (Adisarwanto dan Widyastuti, 2000). Beberapa tahun
terakhir terjadi penurunan produksi jagung di wilayah Indonesia.
Penurunan
produksi disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu serangan penyakit
yang menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Salah
satu penyakit yang menyerang tanaman jagung yaitu penyakit bulai yang
disebabkan oleh Peronoclerospora maydis. Penyakit bulai merupakan penyakit
utama paling berbahaya di Indonesia, karena dapat menyebabkan kerusakan antara
90 - 100% atau puso terutama pada varietas jagung yang rentan terhadap penyakit
bulai. Tanaman jagung yang terinfeksi patogen penyebab bulai dapat menimbulkan
gejala sistemik (Semangun, 1993).
Pengendalian
bulai menggunakan fungisida merupakan salah satu cara yang sampai saat ini
masih banyak dilakukan. Penggunaan fungisida secara terus menerus dapat
mengakibatkan timbulnya ketahanan jamur patogen terhadap fungisida. Hasil
penelitian di Yogyakarta menunjukan adanya strain jamur yang tahan terhadap
fungisida secara in vitro dan di rumah kaca. Penggunaan metalaksil secara
intensif untuk mengendalikan penyakit bulai pada jagung telah menimbulkan
strain Peronosclerospora maydis yang
tahan (Sumardiyono, 2008). Pada saat sekarang ini sedang dikembangkan pengendalian
dengan induksi ketahana dari tanaman. Induksi ketahanan merupakan proses
ketahanan aktif yang tergantung pada penghalang fisik atau kimia tanaman inang,
yang diaktifkan oleh agensia biotik atau abiotik (agensia pengimbas), yang
dapat melindungi tanaman terhadap patogen tanah atau dedaunan. Ketahanan
terimbas ini dikenali sebagai cara pengendalian hayati yang penting pada
jaringan vegetatif (Soesanto, 2008). Beberapa penginduksi yang sedang
dipelajari dan dikembangkan sekarang adalah agensia hayati yang diantaranya
adalah Bakteri Bacillus sp. dan Pseudomonas sp.
Jagung
Jagung
(Zea mays L.) adalah tanaman pangan
yang menduduki perinkat kedua setelah padi di Indonesia dan salah satu jenis
tanaman serealia dari keluarga rumput-rumputan. Kandungan gizi yang terdapat
pada jagung meliputi pati (72-73%), kadar gula sederhana jagung (glukosa,
fruktosa, dan sukrosa) berkisarantara 1-3%. Protein jagung (8-11%) terdiri atas
lima fraksi, yaitu: albumin, globulin, prolamin, glutelin, dan nitrogen
nonprotein (Suarni dan Widowati, 2012). Jagung adalah tanaman berhari pendek
atau tanaman semusim yang dapat dipanen berumur sekitar 80-150 hari. Jagung
memiliki akar serabut, batang jagung terdiri atas ruas dan buku, kokoh, tegak
dan tidak banyak mengandung lignin. Ruas batang terbungkus pelepah daun yang
muncul dari buku-buku. Jagung memiliki daun dengan bentuk memanjang yang muncul
dari ruas-ruas batang, tulang daun sejajar dengan ibu tulang daun. Jagung
memiliki bunga jantan dan bunga betina yang terpisah dalam satu tanaman
sehingga dapat terjadi penyerbukan silang. Bunga jantan tumbuh di bagian pucuk
tanaman, sedangkan bunga betina tersusun dalam tongkol jagung (Subekti et al., 2010).
Pada
setiap tanaman jagung terdapat bunga jantan dan bunga betina yang letaknya
terpisah. Bunga jantan terdapat pada malai bunga di ujung tanaman, sedangkan
bunga betina terdapat pada tongkol jagung. Bunga betina ini biasanya disebut
tongkol selalu dibungkus kelopak-kelopak yang jumlahnya sekitar 6-14 helai.
Tangkai kepala putik merupakan rambut atau benang yang terjumbai di ujung
tongkol sehingga kepala putiknya menggantung di luar tongkol. Bunga jantan yang
terdapat di ujung tanaman masak lebih dahulu daripada bunga betina (Wakman dan
Burhanuddin, 2007). Menurut Wakman dan Burhanuddin (2007) daerah yang
dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung yaitu daerah beriklim sedang
hingga daerah beriklim subtropis/tropis basah. Jagung dapat tumbuh baik di
daerah yang terletak antara 50° LU - 40° LS. Pada lahan yang tidak beririgasi
memerlukan curah hujan ideal sekitar 85 - 200 mm/bulan selama masa pertumbuhan.
Suhu yang dikehendaki tanaman jagung untuk pertumbuhan terbaiknya antara 27° -
32° C. Pada proses perkecambahan benih jagung memerlukan suhu sekitar 30 °C.
tanaman jagung dalam proses budidaya mengalami serangan penyakit diantaranya
yaitu penyakit bulai.
Bulai
Penyakit
bulai pada tanaman jagung masih menjadi masalah utama dalam budidaya tanaman
jagung. Hal ini karena penyakit bulai dapat mengakibatkan puso dan
penyebarannya yang sangat luas di beberapa negara penghasil jagung di dunia.
Negara- negara pengahsil jagung di dunia seperti Filipina, Thailand, India,
Afrika, Indonesia, dan Amerika (Shurtleff, 1980 dalam Semangun, 2004).
Gejala sistemik terjadi jika infeksi
ini meluas dan mencapai titik tumbuh tanaman jagung sedangkan gejala lokal
infeksi hanya sebatas pada daun saja tidak mencapai titik tumbuh tanaman.
Gejala yang ditimbulkan pada tanaman jagung dapat berupa bercak berwarna
klorotik memanjang searah tulang daun dengan batas yang jelas dan adanya tepung
berwarna putih di bawah permukaan daun tersebut (terlihat lebih jelas saat pagi
hari). Ciri-ciri lain dari gejala penyakit bulai pada tanaman jagung yaitu daun
yang mengalami klorosis karena infeksi patogen bulai menjadi sempit dan kaku,
petumbuhan tanaman terhambat, bahkan tidak menghasilkan tongkol, dan tanaman
muda yang terserang bulai biasanya akan mati (umur tanaman dibawah 1 bulan
(Semangun, 2004).
Sumber
: Jatnika et al., (2013)
Penyakit
bulai disebabkan oleh Peronosclerospora
maydis. P. maydis akan dapat menginfeksi tanaman jagung jika tersedia air,
baik air embun maupun air hujan dan air gutasi. Dalam proses infeksi penyakit
bulai oleh P. maydis dipengaruhi oleh
umur tanaman dan daun yang diinfeksi. Tanaman jagung yang berumur lebih dari 3
minggu dan daun yang berumur tua cukup tahan terhadap infeksi dan jika semakin
muda tanaman atau daun yang terinfeksi maka semakin rentan terhadap infeksi P. maydis (Semangun, 2004). P. maydis bersifat parasit obligat
sehingga tidak dapat bertahan hidup pada tanah ataupun seresah (saprofitik).
Oleh karena itu P. maydis harus
bertahan dari musim ke musim pada tanaman hidup atau pada benih jagung. Infeksi
konidiofor P. maydis dari permukaan
daun menembus jaringan tanaman melalui stomata tanaman muda dan lesio lokal
berkembang ke titik tumbuh yang menyebabkan infeksi sistemik (Wakman dan
Burhanudin, 2007).
Pengendalian
penyakit bulai pada jagung yang sering dilakukan dengan fungisida metalaksil
pada benih jagung, menanam varietas jagung tahan penyakit bulai, eradikasi
tanaman jagung terserang penyakit bulai, penanaman jagung secara serempak dan
periode bebas tanaman jagung (Wakman dan Burhanudin, 2007). Pada saat sekarang
ini dikembangkan pengendalian penyakit bulai dengan induksi ketahan tanaman (Jatnika
et al., 2013).
Ketahanan Terinduksi
Ketahanan
sistemik terinduksi dicirikan oleh akumulasi asam salisilat (SA) dan
pathogenesis-related protein (PR-protein), misalnya peroksidase (Agrios, 1997).
Menurut Kloepper (1996), ketahanan sistemik terinduksi (induced systemic
resistance) bergantung pada kolonisasi sistem perakaran oleh mikrobia.
Kolonisasi oleh mikrobia dapat terjadi melalui penyelubungan benih atau
penambahan suspensi mikroba ke dalam tanah pada saat pindah tanaman. Fenomena
peningkatan ketahanan tanaman secara terinduksi dapat melalui proses SAR
(Systemic Aqcuired Resistance) atau ISR (Induced Systemic Resistance) yang
melibatkan berbagai jenis gen, enzim dan protein. Baik SAR maupun ISR sama-sama
penting peranannya untuk meningkatkan ketahanan tanaman. Induksi ketahanan
dapat dipacu oleh beragam bahan penginduksi (elisitor), baik hayati maupun
kimia (Pieterse et al., 2009).
Menurut
Pieterse et al. (2009) peningkatan
ketahanan tanaman melalui SAR terjadi setelah adanya infeksi patogen secara
lokal pada tanaman, kemudian tanaman yang terinfeksi mengaktifkan gen-gen yang
berperan dalam ketahanan (pathogenic
related genes; PR) yang memproduksi senyawa-senyawa kimia untuk pertahanan
tanaman, seperti asam salisilat (SA). Apabila tanaman yang sudah terinduksi
ketahanannya, terinfeksi lagi oleh patogen lain maka tanaman akan dapat
mempertahankan dirinya sehingga infeksi patogen tidak berkembang atau
terlokalisasi akibat sel-sel tanaman di sekitar tempat infeksi mati. Kematian
sel dalam proses tersebut biasa disebut sebagai reaksi hipersensitif (HR).
Sedangkan pemicu peningkatan ketahanan melalui ISR terjadi bukan karena infeksi
patogen, tetapi oleh adanya infeksi mikrobia non patogen pada perakaran,
seperti bakteri, jamur atau mikoriza.
Respon
tanaman terhadap adanya infeksi mikrobia nonpatogen, tanaman akan memproduksi
senyawa-senyawa pertahanan tanaman, seperti asam jasmonat (JA) dan senyawa
etilen (ET). Aktivasi senyawa pertahanan tersebut tidak berhubungan dengan
peran gen-gen pertahanan (PR) seperti halnya pada SAR. Ramamoorthy et al. (2001) memaparkan bahwa mekanisme
ISR terjadi sebagai akibat perubahan fisiologi tanaman yang kemudian
menstimulasi terbentuknya senyawa kimia yang berguna dalam pertahanan terhadap
serangan patogen. Perubahan fisiologi tersebut dapat berupa modifikasi
struktural dinding sel atau perubahan reaksi biokimia pada tanaman inang.
Ilustrasi tentang proses peningkatan ketahanan tanaman melalui mekanisme SAR
dan ISR dilukiskan oleh Pieterse et al.
(2009). Agensia hayati yang dapat dijadikan inducer
diantaranya adalah Pseudomonas spp (Khalimi
dan Suprapta, 2011) dan Bacillus spp
(Hamdan et al., 1991).
Pseudomonas spp
P. fluorescens
mampu mengklon dan beradaptasi dengan baik pada akar tanaman serta menggunakan
eksudat akar untuk mensintesis metabolit yang mampu menghambat pertumbuhan dan
aktifitas pathogen atau memicu ketahanan sistemik dari tanaman terhadap patogen
(Susanna, 2000). P. fluorescens dapat
menekan perkembagan penyakit tanaman dengan beberapa cara yaitu: kompetisi
terhadap unsur besi (Fe) dan unsur karbon, memproduksi antibiotik dan HCN,
merangsang akumulasi fitoaleksin sehingga tanaman lebih resisten serta
mengkolonisasi akar dan menstimulasi pertumbuhan tanaman (Susanna, 2000).
Khalimi dan Suprapta (2011) melaporkan
bahwa bakteri Pseudomonas aeruginosa dapat meningkatkan ketahanan tanaman
kedelai terhadap virus soybean stunt virus (SSV), melalui mekanisme induced
sistemic resistance (ISR). Tanaman dengan perlakuan Pseudomonas aeruginosa
memiliki kejadian penyakit pada kisaran 15% sampai 80% lebih rendah dibanding
dengan tanaman tanpa perlakuan yang mencapai 90%. Hasil penelitian Jatnika et al., (2013) melaporkan bahwa Pseudomonas sp. dapat menekan sporulasi
jamur patogen P. maydis, mampu
menekan penyakit bulai dan meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung.
Bacillus spp
Pada
umumnya Bacillus spp. dapat digunakan
sebagai agens biokontrol Bakteri Bacillus
spp. yang bersifat antagonis mampu menekan pertumbuhan mikroorganisme lain
karena memproduksi antibiotik berupa lipopeptida yang disebut basitrasin dengan
mekanisme merusak membran sel bakteri (Desmawati, 2006). Jenis metabolit
sekunder lain yang diproduksi Bacillus
spp. adalah biosurfaktan yang disebut surfaktin atau subtilisin. Surfaktin
merupakan lipopeptida siklik yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan air
dan juga bersifat antibiotik (Dirmawati, 2004).
Bacillus
spp., memiliki aktivitas antifungal yang tinggi dan berperan dalam menekan
beberapa fungi yang bersifat patogen, seperti Rhizoctonia, Fusarium dan Aspergillus (Desmawati, 2006). Selain memiliki
kemampuan dalam menekan perkembangan fitopatogen, Bacillus spp. pun diketahui dalam mendukung pertumbuhan tanaman. Beberapa
dari bakteri antagonis mampu menghasilkan senyawa-senyawa yang dapat mengakibatkan
pertumbuhan cendawan terhambat (Hamdan et
al., 1991). penelitian Sadoma et al.
,(2011), penggunaan Bacillus sp.
mampu menekan P. maydis penyebab
penyakit bulai jagung. Hasil penelitian Jatnika et al., (2013) melaporkan bahwa bacillus
spp. dapat menekan sporulasi jamur patogen P.
maydis, mampu menekan penyakit bulai dan meningkatkan pertumbuhan tanaman
jagung.
Kesimpulan
1. Pengendalian
penyakit bulai yang disebabkan oleh P.
maydis dapat dilakukan dengan induksi ketahanan tanaman.
2.
Induksi
ketahanan dapat menggunakan agensia hayati diantaranya Pseudomonas spp dan Bacillus
spp.
3.
Pseudomonas
spp dan Bacillus spp dapat
menginduksi ketahanan tanaman jagung sehingga dapat menekan sporulasi jamur P. maydis, menekan penyakit bulai dan
meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung.
Daftar Pustaka
Adisarwanto dan Widyastuti. 2000. Teknik Bertanam Jagung. Kanisius. Yogyakarta.
Agrios, G. N. 1997. Plant Pathology. Academic Press. London.
Desmawati. 2006. Pemanfaatan plant growth promoting rhizobacter (PGPR) prospek yang
menjanjikan dalam berusaha tani tanaman holtikultura. POPT Direktorat
Perlindungan Tanaman Holtikultura. Ditjen Holtikultura.
Dirmawati. 2004. Kajian Keefektifan Beberapa Komponen Pengendalian Ramah Lingkungan
terhadap Penyakit pustul Bakteri Kedelai. Sekolah Pascasarjana IPB.
Disertasi.
Hamdan, H., Weller, D.M., Thomashow, L.S.
1991. Relative Importance of Fluorescent
Siderophores and Other Factors in Biological Control of Gaeumannomyces graminis
var tritici by UB-PF2-79 and M4-80R. Applied and Environmental Microbiology.
57(11):3270-3277.
Jatnika, W., Abdul L. A dan Luqman Q. A.
2013. Pengaruh aplikasi Bacillus sp. dan
Pseudomonas sp. terhadap perkembangan penyakit bulai yang disebabkan oleh jamur
patogen Peronosclerospora maydis pada tanaman jagung. Jurnal HPT Volume 1
Nomor 4 hal 19-29
Khalimi, K. & Suprapta, D.N. 2011. Induction of plant resistance against
soybean stunt virus using some formulations of Pseudomonas aeruginosa. J.
ISSAAS. 17 (1): 98-105.
Kloepper, J.W. and Tuzun, S. 1996. Induced systemic to diseases and increased
plant growth-promoting rhizobacteria under field conditions.
Phytopathology. 81: 1508-1516.
Pieterse, C.M.J., Leon-Reyes, A., Van
der Ent, S., and Van Wees, S. C M. 2009. Networking
by small-molecule hormones in plant immunity. Nat. Chem. Biol. 5: 308-316.
Ramamoorthy, V., Viswanathan, R.,
Raguchandar, J., Prakasham, T. and Samiyappan, R. 2001. Induction of systemic resistance by plant growth promoting
rhizobacteria in crop plants against pest and diseases. Crop Protection,
20: 1-11.
Sadoma, M.T., El-Sayed, A.B.B., and
El-Moghazy, S.M. 2011. Biological Control
of Downy mildew Disease of Maize Caused by Peronosclerospora sorghi Using
Certain Biocontrol Agents Alone or In Combination. J. Agric. Res. Kafer
El-Sheikh Univ. 37 (1) 2011.
Sarasutha, I. G.
P. 2002. Kinerja Usahatani dan Pemasaran Jagung di Sentra Produksi.
Jurnal Litbang Pertanian Vol. 21. No.2. hlm 38 – 47.
Semangun,
H. 1993. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan
di Indonesia. Gadjah Mada University Press.
Semangun, H. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan Di Indonesia. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Soesanto,
L. , 2008. Pengantar Pengendalian hayati
Penyakit Tanaman Suplemen ke Gulma dan nematode. Rajawali-Press, Jakarta.
Hlm.292 - 299.
Suarni,
dan S. Widowati. 2006. Struktur, komposisi,
dan nutrisi jagung. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung.
Makassar : 410-426.
Subekti
N. A., Syafruddin, Roy E., dan Sri S. 2010. Morfologi
Tanaman dan Fase Pertumbuhan Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Maros. Hal 16-27.
Sumardiyono, C. 2008. Ketahanan
jamur terhadap fungisida di Indonesia. Jurnal Perlindungn Tanaman Indonesia
14 : 1-5.
Susanna.
2000. Analisis Introduksi Mikaroorganisme
Antagonisme Untuk Pengendalian Hayati Penyakit Layu Pisang (Fusarium oxysporum
f.sp.cubense) pada Pisang (Musa sapientum L.). Skripsi. IPB. Bogor.
Wakman,
W dan Burhanuddin. 2007. Pengelolaan
Penyakit Prapanen Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros.
No comments:
Post a Comment