I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cabai
(Capsicum sp.) merupakan salah satu
komoditas unggulan hortikultura di Indonesia yang bernilai ekonomi tinggi.
Kebutuhan cabai selalu bertambah dari tahun ke tahun dan pada saat tertentu
kebutuhan cabai sangat tinggi sehingga produksi nasional tidak mampu memenuhi
permintaan (Suharsono et al., 2009).
Beberapa faktor penyebab rendahnya produksi cabai di lapangan, diantaranya
yaitu teknik budidaya, keberadaan hara dalam tanah serta serangan hama dan
penyakit. Penyebab utama kegagalan panen pada cabai adalah infeksi patogen
virus, maka usaha untuk mengatasi penyakit cabai akibat virus perlu mendapat
perhatian (Suryaningsih et al.,
1996).
Beberapa
jenis virus dilaporkan dapat menginfeksi tanaman cabai di Indonesia yang
menjadi salah satu faktor utama rendahnya produktivitas cabai (Duriat et al., 1995; Suryaningsih et al., 1996). Hasil laporan penelitian
menunjukkan bahwa virus utama yang menyerang tanaman cabai salah satunya adalah
cucumber mosaic virus (CMV) (Sulyo et al.
1995). Infeksi CMV dapat menyebabkan kerugian hasil panen pada tujuh kultivar cabai
dari 32 sampai 75% (Sulyo et al.
1984). Bahkan hasil penelitian Sari et al.
(1997) menunjukkan bahwa CMV dapat menurunkan jumlah dan bobot buah tiap
tanaman berturut-turut sebesar 81.4 dan 82.3%.
Sampai
saat ini masih banyak petani di Indonesia yang tetap mengandalkan pengendalian
penyakit tumbuhan dengan pestisida kimia termasuk pengendalian penyakit yang disebabkan
oleh CMV, Mereka masih sangat bergantung pada penggunaan insektisida untuk
menekan populasi serangga vektornya, bahkan dengan frekuensi dan dosis
penyemprotan yang melebihi anjuran. Tentunya tindakan ini dapat memberikan
dampak negatif terhadap lingkungan, organisme bukan sasaran, terdapat residu pestisida
dan tidak efektif untuk mengurangi populasi serangga vektor (Gallitelli 1998).
Pada
beberapa percobaan telah dilakukan pengendalian virus secara ramah lingkungan,
salah satunya dengan penggunaan plant
growth-promoting rhizobacteria (PGPR). Penggunaan PGPR sebagai agens hayati
untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh virus tumbuhan masih sangat
sedikit. Beberapa penelitian menunjukkan potensi penggunaan PGPR untuk mengendalikan
berbagai jenis penyakit seperti CMV (Ryu et
al. 2004), tomato mottle virus (Murphy et
al. 2000), dan tobacco necrotic virus (Maurhofer et al. 1994). Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba untuk
menulis makalah tentang penggunaan PGPR untuk pengendalian Cucumber Mosaic
Virus (CMV) pada tanaman cabai.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
yaitu sebagai berikut :
1.
Untuk memahami
pengendalian virus tanaman secara ramah lingkungan
2.
Mempelajari
pengendalian CMV dengan menggunakan PGPR
II.
PEMBAHASAN
2.1. Cabai
Cabai
merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan. Cabai berasal dari benua
Amerika tepatnya daerah Peru dan menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa
dan Asia termasuk Negara Indonesia. Tanaman cabai banyak ragam tipe pertumbuhan
dan bentuk buahnya. Cabai yang dibudidayakan di Indonesia yakni cabai besar,
cabai keriting, cabai rawit dan paprika (Chairani, 2008).
Cahyono (2003)
menjelaskan bahwa tanaman cabai diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi :
Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Kelas :
Dicotyledoneae
Ordo :
Corolliforea
Famili :
Solanaceae
Genus :
Capsicum
Spesies :
Capsicum sp.
Satu buku biasanya keluar lebih dari
satu buah. Daunnya bulat telur, dasarnya lebih lebar, ujung menyempit dan
merucing, warna daun hijau muda, permukaan bawah berbulu, lebar 0,5-5 cm,
panjang 1-10 cm, panjang tangkai 0,5-3,5 cm. Bunganya kecil, terletak pada
ujung ranting, jumlahnya satu atau dua kadang-kadang lebih. Tangkai bunga
tegak, panjangnya 1,5-2,5 cm, warnanya hijau muda. Kelopak bunga kecil,
berbentuk bintang segi 5, warnanya hijau kekuningan. Mahkota bunga warna
kuning-kehijauan, garis tengah 0,5-1 cm, bentuk bintang bersudut 5. Benang sari
5 buah, tegak, warna kepala benangsari ungu. Buahnya kecil, berbentuk kerucut,
ujung runcing, tegak, dan tangkainya panjang, panjang buah 1-3 cm, garis tengah
0,3-1 cm, apabila sudah masak warnanya merah cerah, orange atau
putih-kekuningan mengkilat. Dalam 1 gram terdapat kurang lebih 250-300 biji dan
rasanya pedas sekali. Perakaran cabai merupakan akar tunggang yang terdiri atas
akar utama (primer) dan akar lateral (sekunder). Dari akar lateral keluar
serabut-serabut akar (akar tersier). Panjang akar primer berkisar 35-50 cm.
Akar lateral menyebar sekitar 35-45 cm (Prajnanta, 2004).
Tanaman cabai merupakan self-pollinated crop yaitu tanaman yang
menyerbuk sendiri. Persilangan antar varietas secara alami masih mungkin
terjadi di lapangan yang dapat menghasilkan ras-ras cabai baru dengan
sendirinya (Cahyono, 2003). Daerah dataran rendah yang tanahnya gembur dan kaya
bahan organik tanaman cabai akan dapat tumbuh dengan baik. Umur tanaman cabai
dapat mencapai 2-3 tahun (Nawangsih et
al., 1999; Cahyono, 2003). Tanaman cabai secara geografis dapat tumbuh pada
ketinggian 0-1200 m di atas permukaan laut. Daerah dataran tinggi yang berkabut
dan kelembabannya tinggi, tanaman cabai mudah terinfeksi penyakit. Cabai akan
tumbuh baik pada daerah yang rata-rata curah hujan tahunannya antara 600-1250
mm dengan bulan kering 3-8,5 bulan dan tingkat penyinaran matahari lebih dari
45% (Suwandi et al., 1997). Dalam
budidaya tanaman cabai, terdapat kendala yang menyebabkan tanaman menjadi tidak
baik, cepat mati dan hasil tanaman menjadi rendah bahkan gagal panen. Salah
satu penyebabnya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus. Menurut Opriana
(2009), infeksi virus akan mengganggu pembentukan buah cabai. Beberapa buah
yang dihasilkan akan nampak belang-belang, dan hal ini akan berdampak pada
kehilangan hasil secara signifikan.
2.2. Cucumber Mosaic
Virus (CMV)
Cucumber
mosaic virus (CMV) adalah virus tanaman yang berbentuk polyhedral dengan diameter 28 nm, menginteksi
lebih dari 775 spesies tumbuhan dalam 67 famili dan dapat ditularkan oleh 75
spesies afid secara non-persistent (Murant dan Mayo, 1982).
CMV
mempunyai kisaran inang yang sangat luas, terdapat pada tanaman sayuran,
tanaman hias dan tanaman buah-buahan. Selain menyerang tanaman ketimun, virus
mosaic ketimun juga dapat menyerang melon, labu, cabai, bayam, tomat, seledri,
bit, tanaman polong-polongan, pisang, tanaman famili Crucitereae, delphinium,
gladiol, lili, petunia, zinia dan beberapa jenis gulma (Agrios,1988).
Di
beberapa negara, virus mosaik ketimun telah menyebabkan penyakit yang berat
pada tanaman tertentu. Virus mosaic ketimun terdapat hampir di semua negara dan
strain yang berbeda sifat biologinya telah dilaporkan dari berbagai tempat.
Virus mosaik ketimun mempunyai banyak strain, oleh karena itu mempunyai jumlah
inang yang banyak serta gejala yang ditimbulkan beragam.
Virus
mosaik ketimun mempunyai tiga genom RNA untai tunggal yang disebut RNA-1, RNA-2
dan RNA-3, serta RNA-4 yang merupakan sub genom dari RNA-3. bobot molekulnya (X
106) masing-masing adalah 2.7,1.13,0.82 dan 0.36 (Takanami, Kubo dan Imaizumi,
1977). RNA-1 dan RNA-2 adalah bagian yang terpisah, tetapi RNA-3 dan RNA-4
terbungkus bersama (Lot dan Kaper, 1976). Selain komponen RNA tersebut, juga
dilaporkan komponen lain denganbobotmolekul (X106) adalah 0.26 (RNA-4a) , 0.11
(RNA-5), 0.01-0.05 (RNA-6) dan 0.5 (RNA-X) (Peden dan Symons, 1973). Hanya
RNA-5 yang telah banyak dipelajari lebih lanjut (Murant dan Mayo, 1982).
RNA-5
adalah salah satu satelit RNA dari virus mosaic ketimun, karena multiplikasinya
bergantung pada virus mosaic ketimun serta tidak esensial untuk replikasi virus
mosaik ketimun (Murant dan Mayo, 1982). Untuk membedakan dengan RNA lain, maka
satelit RNA-5 yang terdapat pada virus mosaic ketimun disebut CARNA (=RNA-5
yang berasosiasi dengan CMV) (Kaper dan Tousignant, 1977).
Jumlah
satelit RNA-5 yang terdapat pada virus
mosaik ketimun sangat beragam, bergantung pada strain virus mosaik ketimun
sebagai virus penolong dan spesies tanaman inang. Pada kebanyakan isolat virus
mosaik ketimun jumlah satelitnya sedikit
dan sering tidak terdeteksi bila diperbanyak pada Cucurbita papo, tetapi
meningkat jumlahnya setelah ditularkan ulang pada Nicotiana tabacum (Kaper dan
Tousignant, 1977). Dengan meningkatnya jumlah satelit, jumlah virus penolong
dan infektifitasnya menurun. Hal ini disebabkan adanya persaingan RNA satelit
dengan RNA virus mosaik ketimun dalam replikasinya (Murant dan Mayo, 1982).
Pada tahun 1977
isolat CMV (S) yang mengandung RNA satelit ditemukan merangsang penyakit
nekrotik fetal pada tomat (Lycopersicon
esculentum) menggantikan gejala klorosis dan daun pakis (fern-leaf) yang secara
normal merupakan gejala yang disebabkan oleh CMV (S) sendiri (Murant dan Mayo,
1982).
Pada dua strain
virus mosaic ketimun lain, penambahan RNA satelit ke inokulum virus mosaic
ketimun menyebabkan gejala nekrotik berat yang sama pada tomat, tetapi
menyebabkan pelemahan gejala pada cabai (Capsicum frutescens), jagung manis (Zea
mays), tembakau dan beberapa inang lain. Strain CMV (JY) yang mengandung
satelit RNA menyebabkan nekrotik letal I pada tomat, tetapi juga menyebabkan
mosaic kuning yang jelas pada tembakau dan beberapa spesies Nicotiana yang
lain. Sedangkan gejalanya tanpa satelit
adalah mosaik kuning
(Takanami,1981) (Siregar, 2003).
2.3. Plant Growth-Promoting Rhizobacteria
(PGPR)
Bakteri-bakteri
yang hidup di sekitar perakaran ada yang menguntungkan. Bakteri ini sering
disebut dengan rizobakteri pemacu tumbuh tanaman (RPTT) atau popular disebut
plant growth promoting rhizobacteria (PGPR). Aktivitas rizobakteria ini memberi
keuntungan langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung PGPR ini
didasarkan atas kemampuannya menyediakan dan memobilisasi atau memfasilitasi penyerapan
berbagai unsur hara dalam tanah serta mensintesis dan mengubah konsentrasi
berbagai fitohormon pemacu tumbuh (Husen et
al., 2006).
Jenis-jenis
agens hayati dari kelompok bakteri yang pernah diteliti telah dirangkum oleh
Sadler (2005), yang meliputi Bacillus
spp., B. cereus, B. polymyxa, B. subtilis, Burkholderia glume, Corynebacterium
sp., Escherichia sp., Pseudomonas aeruginosa, P. fluorescens, Streptomyces
mutabilis, dan actinomycetes. Diantara spesies bakteri tersebut, B. polymyxa
dan Curtobacterium (Corynebacterium)
flaccumfaciens pv. Flaccumfaciens perlu diwaspadai karena berpotensi
menjadi patogen pada tanaman. Menurut Nivedhitha et al. (2008), tiga bakteri dan satu Actinomycetes yang diisolasi
dari rizosfer bambu menunjukkan daya hambat terhadap pertumbuhan Fusarium,
meningkatkan pertumbuhan tanaman, dan bertambahnya jumlah daun. Selanjutnya
menurut Minorsky (2008), bakteri P. fluorescens B16 yang diisolasi dari perakaran
tanaman Graminae menunjukan adanya kolonisasi yang dapat meningkatkan hasil,
menambah jumlah bunga, menambah jumlah buah, dan berat buah tomat. Kemampuan
untuk menfiksasi nitrogen, melarutkan fosfat, memproduksi senyawa siderofor dan
hidrogen sianida (HCN), enzim kitinase, protease, dan selulosa merupakan
karakteristik rizobakteri yang diinginkan (Zhang, 2004). Oleh karena itu untuk
memperoleh rizobakteri yang berpotensi perlu dievaluasi berbagai karakter
tersebut. Salah satu kemampuan rizobakteri dari kelompok Bacillus spp. Dan Pseudomonas
spp. yang telah dilaporkan adalah mampu melarutkan fosfat (Faccini et al., 2004). Selain itu P. fluorescens
merupakan salah satu mikroorganisme antagonis yang diteliti secara intensif dan
berpotensi besar untuk pengendalian beberapa penyakit (Hasanuddin, 2003).
Aplikasi
PGPR dapat menginduksi ketahanan sistemik tanaman (Raupach et al. 1996; Van Loon et al.
1998). Ketahanan sistemik terinduksi dicirikan oleh akumulasi asam salisilat
(SA) dan pathogenesis-related protein (PR-protein), misalnya peroksidase
(Agrios 1997). Menurut Kloepper (1996), ketahanan sistemik terinduksi (induced
systemic resistance) bergantung pada kolonisasi sistem perakaran oleh PGPR.
Kolonisasi oleh PGPR dapat terjadi melalui penyelubungan benih atau penambahan
suspensi PGPR ke dalam tanah pada saat pindah tanaman. Fenomena peningkatan
ketahanan tanaman secara terinduksi dapat melalui proses SAR (Systemic Aqcuired
Resistance) atau ISR (Induced Systemic Resistance) yang melibatkan berbagai
jenis gen, enzim dan protein. Baik SAR maupun ISR sama-sama penting peranannya
untuk meningkatkan ketahanan tanaman. Induksi ketahanan dapat dipacu oleh
beragam bahan penginduksi (elisitor), baik hayati maupun kimia (Pieterse et al., 2009).
Menurut
Pieterse et al. (2009) peningkatan
ketahanan tanaman melalui SAR terjadi setelah adanya infeksi patogen secara
lokal pada tanaman, kemudian tanaman yang terinfeksi mengaktifkan gen-gen yang
berperan dalam ketahanan (pathogenic related genes; PR) yang memproduksi
senyawa-senyawa kimia untuk pertahanan tanaman, seperti asam salisilat (SA).
Apabila tanaman yang sudah terinduksi ketahanannya, terinfeksi lagi oleh
patogen lain maka tanaman akan dapat mempertahankan dirinya sehingga infeksi
patogen tidak berkembang atau terlokalisasi akibat sel-sel tanaman di sekitar
tempat infeksi mati. Kematian sel dalam proses tersebut biasa disebut sebagai
reaksi hipersensitif (HR). Sedangkan pemicu peningkatan ketahanan melalui ISR
terjadi bukan karena infeksi patogen, tetapi oleh adanya infeksi mikrobia non
patogen pada perakaran, seperti bakteri, jamur atau mikoriza. Respon tanaman
terhadap adanya infeksi mikrobia nonpatogen, tanaman akan memproduksi
senyawa-senyawa pertahanan tanaman, seperti asam jasmonat (JA) dan senyawa
etilen (ET). Aktivasi senyawa pertahanan tersebut tidak berhubungan dengan
peran gen-gen pertahanan (PR) seperti halnya pada SAR. Ramamoorthy et al. (2001) memaparkan bahwa mekanisme
ISR terjadi sebagai akibat perubahan fisiologi tanaman yang kemudian
menstimulasi terbentuknya senyawa kimia yang berguna dalam pertahanan terhadap
serangan patogen. Perubahan fisiologi tersebut dapat berupa modifikasi
struktural dinding sel atau perubahan reaksi biokimia pada tanaman inang.
Ilustrasi tentang proses peningkatan ketahanan tanaman melalui mekanisme SAR dan
ISR dilukiskan oleh Pieterse et al.
(2009).
Khalimi
dan Suprapta (2011) melaporkan bahwa bakteri Pseudomonas aeruginosa dapat meningkatkan ketahanan tanaman kedelai
terhadap virus soybean stunt virus (SSV), melalui mekanisme induced sistemic resistance (ISR).
Tanaman dengan perlakuan Pseudomonas
aeruginosa memiliki kejadian penyakit pada kisaran 15% sampai 80% lebih
rendah dibanding dengan tanaman tanpa perlakuan yang mencapai 90%. Serratia marcescens dilaporkan juga
dapat menginduksi ketahanan sistemik (ISR) terhadap penyakit tanaman yang
disebabkan oleh fungi, bakteri, dan virus (Press et al., 1997).
Isolat
KF salah satu isolat yang paling baik dalam menurunkan tingkat keparahan
penyakit SMV pada penelitian ini berkerabat dekat dengan bakteri Serratia marcescens. Penelitian yang
dilakukan Thapa et al. (2009)
pemberian Serratia marcescens pada
daun tanaman tembakau dapat menurunkan kejadian penyakit yang disebabkan virus
cucumber mosaic virus (CMV). Tanaman tembakau yang diberi perlakuan memiliki
kejadian penyakit kurang dari 59%, sementara tanaman kontrol mencapai 100%. Ryu
et al. (2004) melaporkan
penelitiannya bahwa perlakuan dengan salah satu strain dari Serratia marcescens dapat menurunkan
gejala penyakit CMV yang terjadi pada tanaman Arabidopsis thaliana.
III.
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Cabai merupakan salah satu komoditas unggulan
hortikultura di Indonesia yang bernilai ekonomi tinggi.
2. Beberapa faktor penyebab rendahnya produksi cabai di
lapangan, diantaranya yaitu teknik budidaya, keberadaan hara dalam tanah serta
serangan hama dan penyakit.
3. Penyebab utama kegagalan panen pada cabai adalah
infeksi patogen virus.
4. Virus utama yang menyerang tanaman cabai salah
satunya adalah cucumber mosaic virus (CMV).
5. Penggunaan PGPR sebagai agens hayati untuk mengendalikan
penyakit yang disebabkan oleh virus menunjukkan potensi penggunaan PGPR untuk mengendalikan
CMV.
6. Aktivitas rizobakteria ini memberi keuntungan
langsung maupun tidak langsung.
7. Aplikasi PGPR dapat menginduksi ketahanan tanaman.
8. ketahanan tanaman secara terinduksi dapat melalui
proses SAR (Systemic Aqcuired Resistance) atau ISR (Induced Systemic
Resistance) yang melibatkan berbagai jenis gen, enzim dan protein.
9. Tanaman yang teah terinduksi akan memproduksi
senyawa-senyawa kimia untuk pertahanan tanaman, seperti asam salisilat (SA),
asam jasmonat (JA) dan senyawa etilen (ET) serta akan melakukan perubahan
fisiologi berupa modifikasi struktural dinding sel atau perubahan reaksi
biokimia pada tanaman inang.
3.2. Saran
Pengendalian Cucumber
Mosaic Virus dapat dilakukan dengan PGPR, namun untuk menggunakan PGPR harus
melakukan uji karena beberapa bakteri dapat bersifat patogen terhadap tanaman.
No comments:
Post a Comment