Menu

Sunday, December 4, 2016

Pengendalian Cucumber Mosaic Virus Menggunakan plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR)



I.  PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Cabai (Capsicum sp.) merupakan salah satu komoditas unggulan hortikultura di Indonesia yang bernilai ekonomi tinggi. Kebutuhan cabai selalu bertambah dari tahun ke tahun dan pada saat tertentu kebutuhan cabai sangat tinggi sehingga produksi nasional tidak mampu memenuhi permintaan (Suharsono et al., 2009). Beberapa faktor penyebab rendahnya produksi cabai di lapangan, diantaranya yaitu teknik budidaya, keberadaan hara dalam tanah serta serangan hama dan penyakit. Penyebab utama kegagalan panen pada cabai adalah infeksi patogen virus, maka usaha untuk mengatasi penyakit cabai akibat virus perlu mendapat perhatian (Suryaningsih et al., 1996).
Beberapa jenis virus dilaporkan dapat menginfeksi tanaman cabai di Indonesia yang menjadi salah satu faktor utama rendahnya produktivitas cabai (Duriat et al., 1995; Suryaningsih et al., 1996). Hasil laporan penelitian menunjukkan bahwa virus utama yang menyerang tanaman cabai salah satunya adalah cucumber mosaic virus (CMV) (Sulyo et al. 1995). Infeksi CMV dapat menyebabkan kerugian hasil panen pada tujuh kultivar cabai dari 32 sampai 75% (Sulyo et al. 1984). Bahkan hasil penelitian Sari et al. (1997) menunjukkan bahwa CMV dapat menurunkan jumlah dan bobot buah tiap tanaman berturut-turut sebesar 81.4 dan 82.3%.
Sampai saat ini masih banyak petani di Indonesia yang tetap mengandalkan pengendalian penyakit tumbuhan dengan pestisida kimia termasuk pengendalian penyakit yang disebabkan oleh CMV, Mereka masih sangat bergantung pada penggunaan insektisida untuk menekan populasi serangga vektornya, bahkan dengan frekuensi dan dosis penyemprotan yang melebihi anjuran. Tentunya tindakan ini dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, organisme bukan sasaran, terdapat residu pestisida dan tidak efektif untuk mengurangi populasi serangga vektor (Gallitelli 1998).
Pada beberapa percobaan telah dilakukan pengendalian virus secara ramah lingkungan, salah satunya dengan penggunaan plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR). Penggunaan PGPR sebagai agens hayati untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh virus tumbuhan masih sangat sedikit. Beberapa penelitian menunjukkan potensi penggunaan PGPR untuk mengendalikan berbagai jenis penyakit seperti CMV (Ryu et al. 2004), tomato mottle virus (Murphy et al. 2000), dan tobacco necrotic virus (Maurhofer et al. 1994). Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba untuk menulis makalah tentang penggunaan PGPR untuk pengendalian Cucumber Mosaic Virus (CMV) pada tanaman cabai.

1.2. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1.      Untuk memahami pengendalian virus tanaman secara ramah lingkungan
2.      Mempelajari pengendalian CMV dengan menggunakan PGPR



II. PEMBAHASAN

2.1. Cabai
Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan. Cabai berasal dari benua Amerika tepatnya daerah Peru dan menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk Negara Indonesia. Tanaman cabai banyak ragam tipe pertumbuhan dan bentuk buahnya. Cabai yang dibudidayakan di Indonesia yakni cabai besar, cabai keriting, cabai rawit dan paprika (Chairani, 2008).
Cahyono (2003) menjelaskan bahwa tanaman cabai diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi               : Spermatophyta
Sub divisio      : Angiospermae
Kelas               : Dicotyledoneae
Ordo                : Corolliforea
Famili             : Solanaceae
Genus             : Capsicum
 Spesies           : Capsicum sp.
            Satu buku biasanya keluar lebih dari satu buah. Daunnya bulat telur, dasarnya lebih lebar, ujung menyempit dan merucing, warna daun hijau muda, permukaan bawah berbulu, lebar 0,5-5 cm, panjang 1-10 cm, panjang tangkai 0,5-3,5 cm. Bunganya kecil, terletak pada ujung ranting, jumlahnya satu atau dua kadang-kadang lebih. Tangkai bunga tegak, panjangnya 1,5-2,5 cm, warnanya hijau muda. Kelopak bunga kecil, berbentuk bintang segi 5, warnanya hijau kekuningan. Mahkota bunga warna kuning-kehijauan, garis tengah 0,5-1 cm, bentuk bintang bersudut 5. Benang sari 5 buah, tegak, warna kepala benangsari ungu. Buahnya kecil, berbentuk kerucut, ujung runcing, tegak, dan tangkainya panjang, panjang buah 1-3 cm, garis tengah 0,3-1 cm, apabila sudah masak warnanya merah cerah, orange atau putih-kekuningan mengkilat. Dalam 1 gram terdapat kurang lebih 250-300 biji dan rasanya pedas sekali. Perakaran cabai merupakan akar tunggang yang terdiri atas akar utama (primer) dan akar lateral (sekunder). Dari akar lateral keluar serabut-serabut akar (akar tersier). Panjang akar primer berkisar 35-50 cm. Akar lateral menyebar sekitar 35-45 cm (Prajnanta, 2004).
            Tanaman cabai merupakan self-pollinated crop yaitu tanaman yang menyerbuk sendiri. Persilangan antar varietas secara alami masih mungkin terjadi di lapangan yang dapat menghasilkan ras-ras cabai baru dengan sendirinya (Cahyono, 2003). Daerah dataran rendah yang tanahnya gembur dan kaya bahan organik tanaman cabai akan dapat tumbuh dengan baik. Umur tanaman cabai dapat mencapai 2-3 tahun (Nawangsih et al., 1999; Cahyono, 2003). Tanaman cabai secara geografis dapat tumbuh pada ketinggian 0-1200 m di atas permukaan laut. Daerah dataran tinggi yang berkabut dan kelembabannya tinggi, tanaman cabai mudah terinfeksi penyakit. Cabai akan tumbuh baik pada daerah yang rata-rata curah hujan tahunannya antara 600-1250 mm dengan bulan kering 3-8,5 bulan dan tingkat penyinaran matahari lebih dari 45% (Suwandi et al., 1997). Dalam budidaya tanaman cabai, terdapat kendala yang menyebabkan tanaman menjadi tidak baik, cepat mati dan hasil tanaman menjadi rendah bahkan gagal panen. Salah satu penyebabnya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus. Menurut Opriana (2009), infeksi virus akan mengganggu pembentukan buah cabai. Beberapa buah yang dihasilkan akan nampak belang-belang, dan hal ini akan berdampak pada kehilangan hasil secara signifikan.

2.2. Cucumber Mosaic Virus (CMV)
Cucumber mosaic virus (CMV) adalah virus tanaman yang berbentuk  polyhedral dengan diameter 28 nm, menginteksi lebih dari 775 spesies tumbuhan dalam 67 famili dan dapat ditularkan oleh 75 spesies afid secara non-persistent (Murant dan Mayo, 1982).
CMV mempunyai kisaran inang yang sangat luas, terdapat pada tanaman sayuran, tanaman hias dan tanaman buah-buahan. Selain menyerang tanaman ketimun, virus mosaic ketimun juga dapat menyerang melon, labu, cabai, bayam, tomat, seledri, bit, tanaman polong-polongan, pisang, tanaman famili Crucitereae, delphinium, gladiol, lili, petunia, zinia dan beberapa jenis gulma (Agrios,1988).
Di beberapa negara, virus mosaik ketimun telah menyebabkan penyakit yang berat pada tanaman tertentu. Virus mosaic ketimun terdapat hampir di semua negara dan strain yang berbeda sifat biologinya telah dilaporkan dari berbagai tempat. Virus mosaik ketimun mempunyai banyak strain, oleh karena itu mempunyai jumlah inang yang banyak serta gejala yang ditimbulkan beragam.
Virus mosaik ketimun mempunyai tiga genom RNA untai tunggal yang disebut RNA-1, RNA-2 dan RNA-3, serta RNA-4 yang merupakan sub genom dari RNA-3. bobot molekulnya (X 106) masing-masing adalah 2.7,1.13,0.82 dan 0.36 (Takanami, Kubo dan Imaizumi, 1977). RNA-1 dan RNA-2 adalah bagian yang terpisah, tetapi RNA-3 dan RNA-4 terbungkus bersama (Lot dan Kaper, 1976). Selain komponen RNA tersebut, juga dilaporkan komponen lain denganbobotmolekul (X106) adalah 0.26 (RNA-4a) , 0.11 (RNA-5), 0.01-0.05 (RNA-6) dan 0.5 (RNA-X) (Peden dan Symons, 1973). Hanya RNA-5 yang telah banyak dipelajari lebih lanjut (Murant dan Mayo, 1982).
RNA-5 adalah salah satu satelit RNA dari virus mosaic ketimun, karena multiplikasinya bergantung pada virus mosaic ketimun serta tidak esensial untuk replikasi virus mosaik ketimun (Murant dan Mayo, 1982). Untuk membedakan dengan RNA lain, maka satelit RNA-5 yang terdapat pada virus mosaic ketimun disebut CARNA (=RNA-5 yang berasosiasi dengan CMV) (Kaper dan Tousignant, 1977).
Jumlah satelit RNA-5 yang terdapat  pada virus mosaik ketimun sangat beragam, bergantung pada strain virus mosaik ketimun sebagai virus penolong dan spesies tanaman inang. Pada kebanyakan isolat virus mosaik  ketimun jumlah satelitnya sedikit dan sering tidak terdeteksi bila diperbanyak pada Cucurbita papo, tetapi meningkat jumlahnya setelah ditularkan ulang pada Nicotiana tabacum (Kaper dan Tousignant, 1977). Dengan meningkatnya jumlah satelit, jumlah virus penolong dan infektifitasnya menurun. Hal ini disebabkan adanya persaingan RNA satelit dengan RNA virus mosaik ketimun dalam replikasinya (Murant dan Mayo, 1982).
Pada tahun 1977 isolat CMV (S) yang mengandung RNA satelit ditemukan merangsang penyakit nekrotik fetal  pada tomat (Lycopersicon esculentum) menggantikan gejala klorosis dan daun pakis (fern-leaf) yang secara normal merupakan gejala yang disebabkan oleh CMV (S) sendiri (Murant dan Mayo, 1982).
Pada dua strain virus mosaic ketimun lain, penambahan RNA satelit ke inokulum virus mosaic ketimun menyebabkan gejala nekrotik berat yang sama pada tomat, tetapi menyebabkan pelemahan gejala pada cabai (Capsicum frutescens), jagung manis (Zea mays), tembakau dan beberapa inang lain. Strain CMV (JY) yang mengandung satelit RNA menyebabkan nekrotik letal I pada tomat, tetapi juga menyebabkan mosaic kuning yang jelas pada tembakau dan beberapa spesies Nicotiana yang lain. Sedangkan gejalanya tanpa satelit  adalah mosaik  kuning (Takanami,1981) (Siregar, 2003).

2.3. Plant Growth-Promoting Rhizobacteria (PGPR)
Bakteri-bakteri yang hidup di sekitar perakaran ada yang menguntungkan. Bakteri ini sering disebut dengan rizobakteri pemacu tumbuh tanaman (RPTT) atau popular disebut plant growth promoting rhizobacteria (PGPR). Aktivitas rizobakteria ini memberi keuntungan langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung PGPR ini didasarkan atas kemampuannya menyediakan dan memobilisasi atau memfasilitasi penyerapan berbagai unsur hara dalam tanah serta mensintesis dan mengubah konsentrasi berbagai fitohormon pemacu tumbuh (Husen et al., 2006).
Jenis-jenis agens hayati dari kelompok bakteri yang pernah diteliti telah dirangkum oleh Sadler (2005), yang meliputi Bacillus spp., B. cereus, B. polymyxa, B. subtilis, Burkholderia glume, Corynebacterium sp., Escherichia sp., Pseudomonas aeruginosa, P. fluorescens, Streptomyces mutabilis, dan actinomycetes. Diantara spesies bakteri tersebut, B. polymyxa dan Curtobacterium (Corynebacterium) flaccumfaciens pv. Flaccumfaciens perlu diwaspadai karena berpotensi menjadi patogen pada tanaman. Menurut Nivedhitha et al. (2008), tiga bakteri dan satu Actinomycetes yang diisolasi dari rizosfer bambu menunjukkan daya hambat terhadap pertumbuhan Fusarium, meningkatkan pertumbuhan tanaman, dan bertambahnya jumlah daun. Selanjutnya menurut Minorsky (2008), bakteri P. fluorescens B16 yang diisolasi dari perakaran tanaman Graminae menunjukan adanya kolonisasi yang dapat meningkatkan hasil, menambah jumlah bunga, menambah jumlah buah, dan berat buah tomat. Kemampuan untuk menfiksasi nitrogen, melarutkan fosfat, memproduksi senyawa siderofor dan hidrogen sianida (HCN), enzim kitinase, protease, dan selulosa merupakan karakteristik rizobakteri yang diinginkan (Zhang, 2004). Oleh karena itu untuk memperoleh rizobakteri yang berpotensi perlu dievaluasi berbagai karakter tersebut. Salah satu kemampuan rizobakteri dari kelompok Bacillus spp. Dan Pseudomonas spp. yang telah dilaporkan adalah mampu melarutkan fosfat (Faccini et al., 2004). Selain itu P. fluorescens merupakan salah satu mikroorganisme antagonis yang diteliti secara intensif dan berpotensi besar untuk pengendalian beberapa penyakit (Hasanuddin, 2003).
Aplikasi PGPR dapat menginduksi ketahanan sistemik tanaman (Raupach et al. 1996; Van Loon et al. 1998). Ketahanan sistemik terinduksi dicirikan oleh akumulasi asam salisilat (SA) dan pathogenesis-related protein (PR-protein), misalnya peroksidase (Agrios 1997). Menurut Kloepper (1996), ketahanan sistemik terinduksi (induced systemic resistance) bergantung pada kolonisasi sistem perakaran oleh PGPR. Kolonisasi oleh PGPR dapat terjadi melalui penyelubungan benih atau penambahan suspensi PGPR ke dalam tanah pada saat pindah tanaman. Fenomena peningkatan ketahanan tanaman secara terinduksi dapat melalui proses SAR (Systemic Aqcuired Resistance) atau ISR (Induced Systemic Resistance) yang melibatkan berbagai jenis gen, enzim dan protein. Baik SAR maupun ISR sama-sama penting peranannya untuk meningkatkan ketahanan tanaman. Induksi ketahanan dapat dipacu oleh beragam bahan penginduksi (elisitor), baik hayati maupun kimia (Pieterse et al., 2009).
Menurut Pieterse et al. (2009) peningkatan ketahanan tanaman melalui SAR terjadi setelah adanya infeksi patogen secara lokal pada tanaman, kemudian tanaman yang terinfeksi mengaktifkan gen-gen yang berperan dalam ketahanan (pathogenic related genes; PR) yang memproduksi senyawa-senyawa kimia untuk pertahanan tanaman, seperti asam salisilat (SA). Apabila tanaman yang sudah terinduksi ketahanannya, terinfeksi lagi oleh patogen lain maka tanaman akan dapat mempertahankan dirinya sehingga infeksi patogen tidak berkembang atau terlokalisasi akibat sel-sel tanaman di sekitar tempat infeksi mati. Kematian sel dalam proses tersebut biasa disebut sebagai reaksi hipersensitif (HR). Sedangkan pemicu peningkatan ketahanan melalui ISR terjadi bukan karena infeksi patogen, tetapi oleh adanya infeksi mikrobia non patogen pada perakaran, seperti bakteri, jamur atau mikoriza. Respon tanaman terhadap adanya infeksi mikrobia nonpatogen, tanaman akan memproduksi senyawa-senyawa pertahanan tanaman, seperti asam jasmonat (JA) dan senyawa etilen (ET). Aktivasi senyawa pertahanan tersebut tidak berhubungan dengan peran gen-gen pertahanan (PR) seperti halnya pada SAR. Ramamoorthy et al. (2001) memaparkan bahwa mekanisme ISR terjadi sebagai akibat perubahan fisiologi tanaman yang kemudian menstimulasi terbentuknya senyawa kimia yang berguna dalam pertahanan terhadap serangan patogen. Perubahan fisiologi tersebut dapat berupa modifikasi struktural dinding sel atau perubahan reaksi biokimia pada tanaman inang. Ilustrasi tentang proses peningkatan ketahanan tanaman melalui mekanisme SAR dan ISR dilukiskan oleh Pieterse et al. (2009).
Khalimi dan Suprapta (2011) melaporkan bahwa bakteri Pseudomonas aeruginosa dapat meningkatkan ketahanan tanaman kedelai terhadap virus soybean stunt virus (SSV), melalui mekanisme induced sistemic resistance (ISR). Tanaman dengan perlakuan Pseudomonas aeruginosa memiliki kejadian penyakit pada kisaran 15% sampai 80% lebih rendah dibanding dengan tanaman tanpa perlakuan yang mencapai 90%. Serratia marcescens dilaporkan juga dapat menginduksi ketahanan sistemik (ISR) terhadap penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi, bakteri, dan virus (Press et al., 1997).
Isolat KF salah satu isolat yang paling baik dalam menurunkan tingkat keparahan penyakit SMV pada penelitian ini berkerabat dekat dengan bakteri Serratia marcescens. Penelitian yang dilakukan Thapa et al. (2009) pemberian Serratia marcescens pada daun tanaman tembakau dapat menurunkan kejadian penyakit yang disebabkan virus cucumber mosaic virus (CMV). Tanaman tembakau yang diberi perlakuan memiliki kejadian penyakit kurang dari 59%, sementara tanaman kontrol mencapai 100%. Ryu et al. (2004) melaporkan penelitiannya bahwa perlakuan dengan salah satu strain dari Serratia marcescens dapat menurunkan gejala penyakit CMV yang terjadi pada tanaman Arabidopsis thaliana.


III.  PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1.      Cabai merupakan salah satu komoditas unggulan hortikultura di Indonesia yang bernilai ekonomi tinggi.
2.      Beberapa faktor penyebab rendahnya produksi cabai di lapangan, diantaranya yaitu teknik budidaya, keberadaan hara dalam tanah serta serangan hama dan penyakit.
3.      Penyebab utama kegagalan panen pada cabai adalah infeksi patogen virus.
4.      Virus utama yang menyerang tanaman cabai salah satunya adalah cucumber mosaic virus (CMV).
5.      Penggunaan PGPR sebagai agens hayati untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh virus menunjukkan potensi penggunaan PGPR untuk mengendalikan CMV.
6.      Aktivitas rizobakteria ini memberi keuntungan langsung maupun tidak langsung.
7.      Aplikasi PGPR dapat menginduksi ketahanan tanaman.
8.      ketahanan tanaman secara terinduksi dapat melalui proses SAR (Systemic Aqcuired Resistance) atau ISR (Induced Systemic Resistance) yang melibatkan berbagai jenis gen, enzim dan protein.
9.       Tanaman yang teah terinduksi akan memproduksi senyawa-senyawa kimia untuk pertahanan tanaman, seperti asam salisilat (SA), asam jasmonat (JA) dan senyawa etilen (ET) serta akan melakukan perubahan fisiologi berupa modifikasi struktural dinding sel atau perubahan reaksi biokimia pada tanaman inang.

3.2. Saran
Pengendalian Cucumber Mosaic Virus dapat dilakukan dengan PGPR, namun untuk menggunakan PGPR harus melakukan uji karena beberapa bakteri dapat bersifat patogen terhadap tanaman.

No comments:

Post a Comment