I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cabai
rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan salah satu komoditas unggulan
hortikultura di Indonesia yang bernilai ekonomi tinggi. Kebutuhan cabai selalu
bertambah dari tahun ke tahun dan pada saat tertentu kebutuhan cabai sangat
tinggi sehingga produksi nasional tidak mampu memenuhi permintaan (Suharsono et al., 2009). Beberapa faktor penyebab
rendahnya produksi cabai di lapangan, diantaranya yaitu teknik budidaya,
keberadaan hara dalam tanah serta serangan hama dan penyakit. Penyebab utama
kegagalan panen pada cabai adalah infeksi patogen virus, maka usaha untuk
mengatasi penyakit cabai akibat virus perlu mendapat perhatian (Suryaningsih et al., 1996).
Beberapa
jenis virus dilaporkan dapat menginfeksi tanaman cabai di Indonesia. Penyakit
mosaik yang disebabkan oleh virus salah satu faktor utama rendahnya
produktivitas cabai (Duriat et al.,
1995; Suryaningsih et al., 1996).
Empat virus yang berasosiasi dengan gejala mosaik diantaranya yaitu cucumber
mosaic virus (CMV), tobaco mosaic virus (TMV), chilli veinal mottle virus
(ChiVMV) dan potato virus Y (PVY) (Nurdin, 1998). Chilli veinal mottle virus
(ChiVMV) dan potato virus Y (PVY) merupakan jenis virus yang termasuk dalam
genus Potyvirus. Infeksi Potyvirus di daerah sentra tanaman cabai di Indonesia
dilaporkan cukup tinggi. Pengamatan terhadap gejala infeksi di lapangan
menunjukkan adanya variasi gejala yang cukup tinggi, mulai dari belang ringan
sampai belang berat yang diikuti dengan penebalan tulang daun (Manzila et al., 2011).
Infeksi
Potyvirus pada tanaman cabai dapat menurunkan hasil tanaman secara signifikan.
Survei yang dilakukan sebelumnya pada tahun 2005 melaporkan kejadian penyakit
Potyvirus di lapangan dapat mencapai 100% (Opriana, 2009). Upaya pengendalian
secara konvensional terhadap Potyvirus sudah dilakukan namun tidak efisien.
Tanaman cabai yang terinfeksi pada daunnya akan memperlihatkan gejala
belang-belang hijau gelap, bercak-bercak hijau gelap, dan kadang-kadang
pola-pola tersebut menyatu ke tulang daun di dekatnya, leaf cupping, epinasti
dan nekrosis (Ong, 1995; Sulyo et al.,
1995). Gejala akan terlihat paling keras pada daun yang paling muda,
pertumbuhannya akan terhambat dan memiliki garis-garis hijau gelap pada batang
dan cabang. Gejala yang disebabkan oleh Potyvirus di lapangan bervariasi karena
gejala yang muncul pada tanaman dipengaruhi oleh inang, strain virus, waktu
infeksi dan kondisi lingkungan.
Bervariasinya
gejala infeksi Potyvirus di lapangan, menyebabkan identifikasi secara langsung
virus yang menginfeksi tanaman cabai sulit dilakukan. Keragaman genetik
Potyvirus berdasarkan perunutan basa nukleotida serta informasi yang lebih
mendalam mengenai urutan nukleotida dari Potyvirus yang ada di Indonesia untuk
menunjukkan adanya keragaman genetik diantara Potyvirus belum banyak dilakukan
(Manzila et al., 2011). Berkaitan
dengan hal tersebut, perlu dipelajari cara mengidentifikasi Potyvirus pada
tanaman cabai. Metode molekuler adalah metode yang lebih sensitif sebagai
metode yang digunakan untuk mendeteksi virus dibandingkan dengan kajian
biologi. Berdasarkan uraian diatas, maka dalam makalah ini akan dibahas
mengenai “identifikasi Potyvirus tanaman cabai rawit secara molekuler”.
1.2. Tujuan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini yaitu :
1.
Mempelajari
kajian identifikasi potyvirus pada tanaman cabai rawit secara molekuler.
2.
Memperdalam
pemahaman penulis mengenai teori ilmu penyakit tumbuhan molekuler.
II.
PEMBAHASAN
2.1. Cabai Rawit
Cabai
merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan. Cabai berasal dari benua
Amerika tepatnya daerah Peru dan menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa
dan Asia termasuk Negara Indonesia. Tanaman cabai banyak ragam tipe pertumbuhan
dan bentuk buahnya. Cabai yang dibudidayakan di Indonesia yakni cabai besar,
cabai keriting, cabai rawit dan paprika (Chairani, 2008).
Cahyono
(2003) menjelaskan bahwa tanaman cabai rawit diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi :
Spermatophyta
Sub divisio :
Angiospermae
Kelas :
Dicotyledoneae
Ordo :
Corolliforea
Famili :
Solanaceae
Genus :
Capsicum
Spesies : Capsicum
frutescens L.
Cabai rawit mempunyai struktur yang hampir sama dengan
cabai besar. Satu buku biasanya keluar lebih dari satu buah. Daunnya bulat
telur, dasarnya lebih lebar, ujung menyempit dan merucing, warna daun hijau
muda, permukaan bawah berbulu, lebar 0,5-5 cm, panjang 1-10 cm, panjang tangkai
0,5-3,5 cm. Bunganya kecil, terletak pada ujung ranting, jumlahnya satu atau
dua kadang-kadang lebih. Tangkai bunga tegak, panjangnya 1,5-2,5 cm, warnanya
hijau muda. Kelopak bunga kecil, berbentuk bintang segi 5, warnanya hijau
kekuningan. Mahkota bunga warna kuning-kehijauan, garis tengah 0,5-1 cm, bentuk
bintang bersudut 5. Benang sari 5 buah, tegak, warna kepala benangsari ungu.
Buahnya kecil, berbentuk kerucut, ujung runcing, tegak, dan tangkainya panjang,
panjang buah 1-3 cm, garis tengah 0,3-1 cm, apabila sudah masak warnanya merah
cerah, orange atau putih-kekuningan mengkilat. Dalam 1 gram terdapat kurang
lebih 250-300 biji dan rasanya pedas sekali. Perakaran cabai merupakan akar
tunggang yang terdiri atas akar utama (primer) dan akar lateral (sekunder).
Dari akar lateral keluar serabut-serabut akar (akar tersier). Panjang akar
primer berkisar 35-50 cm. Akar lateral menyebar sekitar 35-45 cm (Prajnanta,
2004).
Tanaman cabai merupakan self-pollinated crop yaitu
tanaman yang menyerbuk sendiri. Persilangan antar varietas secara alami masih
mungkin terjadi di lapangan yang dapat menghasilkan ras-ras cabai baru dengan
sendirinya (Cahyono, 2003). Daerah dataran rendah yang tanahnya gembur dan kaya
bahan organik tanaman cabai akan dapat tumbuh dengan baik. Umur tanaman cabai
dapat mencapai 2-3 tahun (Nawangsih et al.,
1999; Cahyono, 2003). Tanaman cabai secara geografis dapat tumbuh pada
ketinggian 0-1200 m di atas permukaan laut. Daerah dataran tinggi yang berkabut
dan kelembabannya tinggi, tanaman cabai mudah terinfeksi penyakit. Cabai akan
tumbuh baik pada daerah yang rata-rata curah hujan tahunannya antara 600-1250
mm dengan bulan kering 3-8,5 bulan dan tingkat penyinaran matahari lebih dari
45% (Suwandi et al., 1997). Dalam
budidaya tanaman cabai, terdapat kendala yang menyebabkan tanaman menjadi tidak
baik, cepat mati dan hasil tanaman menjadi rendah bahkan gagal panen. Salah
satu penyebabnya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus. Menurut Opriana (2009),
infeksi Potyvirus akan mengganggu pembentukan buah cabai. Beberapa buah yang
dihasilkan akan nampak belang-belang, dan hal ini akan berdampak pada kehilangan
hasil secara signifikan.
2.2. Penyakit Virus
Pada Cabai
Infeksi
penyakit yang disebabkan oleh virus pada cabai merupakan masalah utama di
lapangan. Penyakit keriting, penyakit krupuk, dan penyakit mosaik telah
diketahui dapat ditularkan melalui benih (seed transmission). Terjadinya
infeksi virus pada tanaman cabai dapat menurunkan pertumbuhan dan produksi
tanaman, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Syamsidi et al., 1997). Gejala mosaik dan kuning
merupakan virus utama yang menginfeksi tanaman cabai. Gejala mosaik ditemukan
berasosiasi dengan infeksi tiga jenis virus yang berbeda, yaitu Tobacco mosaic
virus (TMV), Cucumber mosaic virus (CMV) dan Chili veinal motle virus (ChiVMV).
Gejala kuning hanya berasosiasi dengan satu jenis virus yaitu Pepper leaf curl
geminivirus (PepLCV) (Nyana, 2012).
Gejala
awal yang ditemukan pada tanaman cabai dengan gejala mosaik umumnya muncul pada
pucuk tanaman dimana daun muda memperlihatkan perubahan warna belang hijau muda
kekuningan diantara warna hijau normal atau hijau tua. Tanaman yang terinfeksi
virus pertumbuhannya relatif lebih kerdil. Pada awal gejala, tulang daun
menguning atau terjadi jalur kuning sepanjang tulang daun. Daun menjadi belang
hijau tua dan hijau muda, ukuran daun lebih kecil dan lebih sempit dari ukuran
daun yang normal, atau menjadi seperti tali sepatu karena lembaran daun
menghilang yang tinggal hanya tulang daun. Virus mosaik sering menyebabkan gejala
bisul pada buah (Semangun, 2000).
Dua
dari 73 genera virus tanaman yaitu Potyvirus
dan Begomovirus menyumbang lebih dari
30% dari semua spesies virus yang diakui. Potyvirus
adalah yang terbesar dari enam genera di dalam keluarga Potyviridae (Fauquet et al.,
2005; Shukla et al., 1994). Beberapa
macam virus telah dilaporkan dapat menyerang kultivar cabai di Indonesia yang
berasal dari genus Potyvirus yaitu, Chilli Veinal Mottle Virus (ChiVMV) dan
Potato Virus Y (PVY) yang dapat menginduksi gejala mosaik (Duriat et al., 1995; Suryaningsih et al., 1996).
Virus
ChiVMV pada tanaman dapat menimbulkan gejala yaitu daun belang dan berwarna
hijau gelap. Pada daun yang paling muda gejala infeksi virus akan terlihat
paling jelas, tanaman yang terinfeksi pertumbuhannya akan terhambat dan
memiliki garis-garis hijau gelap pada batang dan cabang. Sebagaian besar
terjadi pada bunga sebelum pembentukan buah cabai. Beberapa buah yang
dihasilkan akan terlihat belang-belang, dan hal ini akan berdampak pada
kehilangan hasil secara signifikan (Opriana, 2009).
PVY
adalah spesies dari genus Potyvirus yang mempunyai titik pengenceran terakhir 1
: 1000-100.000 dan titik pemanasan inaktifasi lebih kurang 500 C. Virus ini
berbentuk benang-benang pendek yang panjangnya berbeda. Sitoplasma sel tanaman
yang terinfeksi terdapat inklusi yang berbentuk cakra, yang merupakan tanda
khas dari PVY. Virus ditularkan ditularkan oleh kutu daun, Myzus persicae
secara non persisten serta secara mekanis. Gejala yang timbul pada tanaman ini
tidak begitu beragam. Infeksi menyebabkan gejala mosaik antar tulang daun,
tulang daun berwarna gelap, sedangkan diantaranya berwarna lebih muda, gejala
mosaik yang lemah ini biasanya lebih jelas pada daun-daun tua, yang terlindungi
oleh daun diatasnya (Duriat dan Muharam, 2003).
Fakta
bahwa virion ditransmisikan dengan cara non-persistent menunjukkan bahwa
replikasi virus tidak terjadi dalam vektor kutu. Virion melekat pada stylet
dalam hitungan detik dan dapat tetap menular selama 4-17 jam. Virion masuk ke
dalam sel tanaman kemudian coat protein lepas dari RNA genom. RNA virus
berfungsi sebagai mRNA yang masih sedikit yang diketahui tentang terjemahannya.
Hasil mRNA yang diterjemahkan menjadi polyprotein kemudian dipotong menjadi
protein. Protein virus bersama dengan protein inang, berkumpul untuk membentuk
kompleks replikasi. Kompleks ini membentuk RNA negatif, dengan menggunakan
untai positif RNA virus sebagai template. Setelah salinan RNA diproduksi
dilanjutkan dengan sintesis beberapa protein. Coat protein akan bergabung
kembali untuk membentuk virion baru. Partikel-partikel virus baru yang
disintesis selanjutnya diangkut melalui plasmodesmata sel tanaman yang
berdekatan dibantu beberapa protein potyvirus. Distribusi virus dalam tanaman
terjadi sesuai dengan hubungan sumber infeksi dan aliran hasil fotosintesis.
Konsentrasi virus yang tinggi, meningkatkan kemungkinan penyerapan oleh kutu
daun. Infeksi tanaman dengan potyvirus dapat bervariasi dalam gejala yang
ditunjukkan. Infeksi dapat mencakup nekrosis, gejala mosaik serta malformasi
daun (Boonham et al., 2002). Dari
molekul yang ada pada potyvirus, dapat di ketahui karakteristik potyvirus
secara molekulernya.
2.3. Karakter
Molekuler Potyvirus
Potyvirus
mempunyai partikel berbentuk batang lentur berukuran 15-20 x 720 nm dan
mengandung genom monopartit berupa RNA (ribonucleic
acid) untai tunggal yang terdiri dari 9830 nukleotida (Nicolas and
Laliberte, 1992). Beberapa virus kadang-kadang berkembang sangat cepat sehingga
tingkat evolusi mereka dapat diperkirakan dengan membandingkan sampel yang
dikumpulkan pada waktu yang berbeda selama epidemik (Bryant et al., 2007). Potyvirus memiliki
selubung protein yang berfungsi untuk penularan melalui kutu daun, pergerakan
virus dari sel ke sel dan pergerakan virus secara sistemik, pembentukan
selubung virus, dan replikasi virus (Tabel 2. 1) (Urcuqui-Inchima et al., 2001).
Tabel 2.1
Fungsi beberapa protein yang terdapat dalam struktur genom Potyvirus
Protein
|
Fungsi protein
|
P1
|
Proteinase; berperan dalam
perpindahan virus dari sel ke sel
|
Hc-Pro
|
Berhubungan dengan penularan virus
melalui kutu daun
|
P3
|
Sifat patogenik terhadap tanaman
|
CI
|
Pergerakan RNA helicase dari sel ke
sel
|
CP
|
Selubung protein, berhubungan
dengan penularan melalui vektor.
|
NIa-VPg
|
Replikasi genom
|
Nia-Pro
|
Proteinase major
|
Nib
|
Replikasi virus (RNA dependent RNA
polymerase/RdRp)
|
6K1
|
Tidak diketahui
|
6K2
|
replikasi RNA
|
Genom
Potyvirus diekspresikan melalui translasi poliprotein dari genom virus.
Poliprotein mengalami pemotongan menjadi protein fungsional dan struktural
sesuai dengan gen yang disandikannya yang terjadi di dalam sitoplasma. Selama
dan sesudah translasi terjadi pemotongan poliprotein oleh protease yang berasal
dari ekspresi dari genom Potyvirus. Poliprotein yang diekspresikan oleh genom
virus diproses menjadi 10 protein fungsional oleh tiga jenis enzim proteinase
yang dihasilkan oleh virus itu sendiri (Hull, 2002).
Protein
inklusi (CI) dan protein selubung (CP) berguna untuk pergerakan dari satu sel
inang ke sel inang lainnya melalui plasmodesmata. CP juga digunakan untuk
pergerakan virion protein dalam jaringan vaskuler melalui interaksi dengan
Hc-Pro pada domain C- dan N- terminalnya. HC-Pro dengan menggunakan antiviral
yang disebut RNA silencing (pembungkaman RNA), berfungsi menekan mekanisme
pertahanan tanaman. Viral genome-linked protein (VPg) merupakan protein
multifungsi yang berperan pada saat amplifikasi dan pergerakan virus yang
berada pada ujung 5’ genom virus. Protein ini merupakan bagian N-proximal dari
protein inklusi inti (NIa) dan terpisah secara autokatalik dari domain
C-proximal proteinase (NIa-Pro). VPg berikatan secara kovalen dengan ujung 5’
RNA virus melalui ikatan fosfodiester pada residu asam amino tirosin yang
terletak di bagian N-proximal. VPg mempunyai peranan penting untuk proses
infeksi virus. VPg juga berinteraksi dengan faktor inisiasi translasi
(eIF(iso)4E), dan diperlukan untuk infeksi secara sistemik. Genom Potyvirus
mempunyai bagian yang tidak berubah (conserved) dan daerah yang bervariasi. Hc-Pro
dan Nib merupakan bagian yang tidak berubah. Daerah yang bervariasi adalah P1,
P3, dan CP (Eleman et al., 1997).
Meskipun terdapat persamaan antara strain yang sama, virus masih dapat
dibedakan atau diidentifikasi.
2.4.Identifikasi Potyvirus
Polymerase chain reaction (PCR) adalah metode yang sangat sensitif, cepat dan
banyak digunakan untuk mendeteksi virus tanaman. PCR merupakan reaksi invitro
untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara
mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target dengan
bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer, serta dilakukan di dalam thermocycler. Panjang target DNA
berkisar antara puluhan sampai ribuan nukleotida yang posisinya diapit sepasang
primer. Primer yang berada sebelum target disebut primer forward dan primer
yang berada setelah target disebut primer reverse. Enzim sebagai pencetak
rangkaian molekul DNA baru disebut sebagai enzim polymerase. Untuk mencetak
rangkaian tersebut dalam teknik PCR, diperlukan juga dNTPs yang mencakup dATP
(nukleotida berbasa Adenine), dCTP (nukleotida berbasa Cytosine), dGTP (nukleotida berbasa Guanin) dan dTTP (nukleotida berbasa Thymine) (Muladno, 2002).
PCR
merupakan suatu metode yang menggunakan komponen‐komponen
replikasi DNA untuk mereplikasi suatu fragmen DNA yang spesifik di dalam tabung
reaksi. PCR dikembangkan untuk mempercepat isolasi DNA spesifik tanpa membuat
dan melakukan pustaka genom. Dua primer oligonukleotida pendek digunakan untuk
mengapit daerah DNA yang akan diamplifikasi. Primer menguatkan dan mencangkok
target sikuen, satu dari setiap rantai DNA. Primer menentukan fragmen yang akan
diamplifikasi dan DNA polymerase mereplikasi DNA dengan memanfaatkan empat
deoksiribonukelotida (dGTP, dATP, dCTP, dTTP) yang disediakan di dalam tabung
reaksi. Pada sebuah siklus amplifikasi, DNA didenaturasi pada temperatur
tinggi, annealing primer dilakukan dengan menurunkan temperatur dan DNA
polymerase memperpanjang DNA dari primer. Pengulangan siklus denaturasi,
annealing primer, dan sintesis DNA menghasilkan DNA melalui amplifikasi secara
eksponensial. Sekitar 25 sampai 40 siklus pada umumnya digunakan di dalam
thermalcycler, yaitu sebuah alat yang secara otomatis mengontrol temperatur dan
waktu. Suatu DNA polymerase khusus yaitu Taq polymerase stabil pada suhu
tinggi, yang diisolasi dari suatu bakteri thermofilik, Thermus aquaticus, yang
hidup di sumber air panas. Produk hasil PCR dianalisis menggunakan
elektroforesis gel (Barnum, 2005).
Identifikasi
secara tepat spesies yang menginfeksi tanaman sangat penting untuk tindakan
yang akan diterapkan dalam hal mengendalikan penyakit tersebut. Untuk virus
yang memiliki tipe genom RNA digunakan teknik RT-PCR. Enzim transkriptase balik
(reverse trancriptase) yang digunakan
dalam RT-PCR adalah enzim DNA polimerase dan molekul RNA yang berperan sebagai
cetakan didalam mensintesis molekul DNA (cDNA) yang komplementer. RT-PCR adalah
metode yang sangat sensitif, cepat dan banyak digunakan untuk mendeteksi virus
tanaman seperti ChiVMV, Chysanthemum B carlavirus (CVB) (Tsai et al., 2008).
Metode
RT-PCR adalah metode yang lebih dapat dipercaya dan lebih sensitif sebagai
metode pendeteksian virus atau indexing. Pada kajian biologi, sering terjadi
bahwa virus tidak terdeteksi, tetapi menunjukkan hasil positif dengan metode
serologi dan RT-PCR yang dapat mendeteksi virus pada konsentrasi rendah (Moury et al., 2005). Analisis perunutan
nukleotida dan asam amino saat ini memiliki peranan yang tidak kalah penting
didalam melakukan deteksi dan karakterisasi virus. Berdasarkan hasil analisis
perunutan nukleotida dan asam amino dapat diketahui tingkat kesamaan nukleotida
dan dapat menentukan kelompok suatu virus maupun strain-strain dari virus yang
sama (Shukla et al., 1994).
2.5. Langkah Deteksi
Virus Dengan RT-PCR
1. Pengumpulan
Sampel
Survei
dilakukan untuk mengumpulkan tanaman yang bergejala infeksi Potyvirus (mosaik,
klorosis, keriting, nekrosis, dan kerdil). Survei dan contoh tanaman (sampel)
cabai ditentukan 5 tanaman dari lokasi berbeda dengan tujuan mendapatkan
tanaman yang positif terinfeksi Potyvirus. Pengambilan sampel daun-daun pucuk
dari tanaman-tanaman cabai yang menunjukkan gejala infeksi Potyvirus untuk
verifikasi jenis virus. Daun-daun pucuk cabai dipetik kemudian secara terpisah
dimasukkan ke dalam tabung gelas berdiameter 2,5 cm dan panjang 15 cm yang
telah diisi separuh volumenya dengan serbuk CaCl3 kemudian ditutup rapat-rapat
hingga dalam keadaan kedap udara. Bahan higroskopis ini akan menyebabkan sampel
daun mengering dan terawetkan namun tidak mempengaruhi viabilitas maupun sifat
intrinsik virus yang mungkin terkandung di dalamnya.
2. Ekstraksi RNA
Total
Total
RNA diekstraksi dari jaringan daun tanaman cabai menggunakan Thermo scientific
GeneJET Plant RNA Purification Mini Kit. Sebanyak 0.1 g sampel daun digerus
menggunakan pistil dan mortar dengan bantuan nitrogen cair hingga terbentuk
bubuk. Serbuk hasil gerusan ditambahkan 500 μl buffer plant RNA lisis + 5 μl
β-mercaptoethanol, kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendorf (volume 1.5
ml) diinkubasi selama 3 menit pada suhu 56 0C. Hasil ekstraksi
disentrifugasi 14.000 rpm selama 5 menit kemudian diambil supernatant (cairan)
tanpa menyentuh pellet (endapan) yang dituang kedalam tabung eppendorf (volume
1.5 ml) yang baru, sambil diukur volumenya. Kemudian ditambahkan 250 μl etanol
absolut 96% (dicampur dengan rata). Sampel dituangkan kedalam kolom warna merah
(purifikasi kolom) yang telah diletakkan dalam tabung koleksi (volume 2 ml),
kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 1 menit. Cairan hasil
sentrifugasi dibuang karena RNA sudah terjerap pada purifikasi kolom, kemudian
ditambahkan wash buffer 1 sebanyak 700 μl kedalam purifikasi kolom dan
disentrifugasi selama 1 menit dengan kecepatan 11000 rpm. Cairan dalam tabung
koleksi dibuang dan ditambahkan wash buffer 2 sebanyak 500 μl kedalam
purifikasi kolom, sentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 1 menit
kemudian cairannya dibuang. Ulangi langkah menambah wash buffer 2, setelah itu
disentrifugasi dengan kecepatan 14000 rpm selama 1 menit. Kolom dimasukkan ke
dalam tabung mikro 2 ml baru, kemudian ditambahkan 30 μl RNAse free water dan
diamkan selama 1 menit. Kolom tersebut kemudian disentrifugasi pada 13.000 rpm
selama 2 menit untuk mendapatkan RNA murni. RNA total yang terbentuk disimpan
pada suhu -80 0C dan dipakai sebagai bahan RT -PCR.
3. Amplifikasi
Complementary (c) DNA
Complementary
DNA (cDNA) dari proses RT diperbanyak lagi melalui proses PCR dengan
menggunakan primer spesifik. Beberapa komponen yang dibutuhkan untuk satu kali
reaksi PCR adalah sebagai berikut: 12.5 μl Go taq green, 8.5 μl ddH2O, 1 μl
Primer F 10 mM, 1 μl Primer R 10 mM, 2 μl cDNA. Jumlah seluruh regaen dalam 1
reaksi adalah 25 μl.
Amplifikasi
cDNA dilakukan dengan teknik PCR yang dilakukan dengan mengikuti prosedur (Jan et al., 2000) dengan pasangan primer
yaitu: ChiVMV F Ind (5’-AACCTGAGCGTATAGTTTCA-3’) dan ChiVMV R Ind
(5’-TACGCTTCAGCAAGATTGCT-3’). Kedua primer tersebut merupakan primer yang dapat
mengamplifikasi bagian coat protein (CP) virus yang berukuran sekitar 900 bp
(Jan et al., 2000). Amplifikasi
dengan PCR dilakukan sebanyak 35 kali dengan tahapan sebagai berikut:
predenaturasi pada suhu 94 0C selama 5 menit, denaturasi merupakan
tahap dimana utas DNA berubah dari untaian ganda menjadi untain tunggal pada
suhu 94 0C selama 1 menit, annealing dimana primer forward dan
primer reverse menempel pada untai tunggal DNA pada masing-masing komplemennya
terjadi pada suhu 50 0C selama 1 menit, sintesis DNA dan tahap
elongasi/ekstensi pada suhu 72 0C selama 2 menit, tahap pemanjangan
akhir terjadi pada suhu 72 0C selama 5 menit dan suhu 4 0C
untuk suhu penyimpanan (Jan et al.,
2000).
4. Visualisasi
Hasil RT-PCR
Elektroforesis
gel Agarose 1% dilakukan untuk mengetahui hasil PCR secara visual. Gel Agarose
dibuat dengan 0,3 g Agarose dicampur dengan 30 ml buffer TBE 0.5x dan
dipanaskan selama 2 sampai 3 menit sampai larut. Larutan tersebut didiamkan
hingga suhunya hangat dan ditambahkan 1,5 μl Etidium bromide pada setiap 30 ml
larutan Agarose. Larutan dituang ke dalam cetakan dan ditunggu hingga padat.
Gel Agarose yang sudah padat kemudian dipindahkan pada alat elektroforesis.
Produk PCR sebanyak 7 μl dan DNAmarker sebanyak 10 μl dimasukkan kedalam
sumuran yang telah disiapkan pada gel Agarose. Elektroforesis dilakukan selama
60 menit dengan tegangan 50 Volt. DNA yang telah dielektroforesis kemudian
divisualisasi dengan UV transiluminator.
5. Sikuen
Nukleotida dan Analisis Filogenetika
Perunutan
DNA CP- Potyvirus dari hasil amplifikasi PCR dapat dilakukan di PT. Genetika
Sience Indonesia dengan primer yang telah ditentukan, misalnya ChiVMV F Ind dan
ChiVMV R Ind. Sikuen gen coat protein (CP) dianalisis untuk mengetahui tingkat
homologi dengan sikuen yang telah dideposit pada GeneBank dengan menggunakan
software khusus, misalnya BLAST (Basic Local Alignment Search Tools) (NCBI
2014). Data sikuen nukeotida yang terpilih kemudian dimodifikasi dan analisis
spesifisitas nukleotida dilakukan dengan menggunakan program multiple
alignment, ClustalW dengan software Bioedit V. 7.0.5. Alignment dilakukan
dengan membandingkan homologi isolat Potyvirus sampel dengan 11 isolat
Potyvirus dari beberapa daerah atau negara dan 1 isolat CMV sebagai pembanding
diluar grup (outgroup). Pohon filogenetika dikonstruksi menggunakan program
MEGA 5.05 berdasarkan pendekatan Unweighted Pair Group Method with Aritmetic
Mean (UPGMA).
III.
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1.
Identifikasi
secara tepat sangat penting untuk tindakan yang akan diterapkan dalam hal
mengendalikan penyakit.
2.
Bervariasinya gejala
infeksi Potyvirus di lapangan, menyebabkan identifikasi secara langsung virus
yang menginfeksi tanaman cabai sulit dilakukan.
3.
RT-PCR adalah
metode yang sangat sensitif, cepat dan banyak digunakan untuk mendeteksi virus
tanaman.
3.2. Saran
Dalam
melakukan identifikasi penyakit yang disebabkan oleh potyvirus sebaiknya
menggunakan teknik molekuler dengan cara RT-PCR karena akan menunjukkan hasil
yang lebih jelas dan baik dibandingkan dengan identifikasi secara langsung.