Whats
Up broooo???
Welcome
back in my blog….
Mau
cerita sedikit tentang pengalaman beberapa bulan yang lalu, tepatnya bulan September
2018 kemarin. Saya diminta untuk menjadi notulen dalam sebuah acara seminar
yang membahas mengenai kelapa sawit di Indonesia dengan berbagai problemnya. Acara
ini adalah Seminar Nasional Kelapa Sawit dengan tema “Kolaborasi dan Sinergi
dalam Mewujudkan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat yang Berkelanjutan” yang di
akomodir oleh APKASINDO provinsi Riau.
Jujur
saja, saya memang belajar mengenai tanaman sawit, bisa bersekolah juga karena
adanya bantuan dari tanaman sawit namun dulu saya kurang mempelajari
masalah-masalah sawit hingga saya meneruskan pendidikan di universitas. Ternyata
permasalahan sawit sangat kompleks. Terutama banyaknya black campaign yang
ingin menjatuhkan ketenaran kelapa sawit yang menurut pemikiran saya para black
campaigner ini pada akhirnya ingin harga sawit sama dengan minyak nabati
lainnya sehingga minyak nabati mereka dapat bersaing secara harga dengan minyak
kelapa sawit.
Ok
kita lanjutkan membahas mengenai kelapa sawit pada seminar tersebut. Dalam seminar
tersebut disampaikan bahwa beberapa tahun belakangan ini kelapa sawit dituduh
menjadi salah satu faktor degradasi alam terutama perkebunan swadaya sehingga
kelapa sawit tidak memiliki daya negosiasi secara vertical maupun secara
horizontal. Selain masalah ini, masalah yang menimpa petani kelapa sawit adalah
mengenai konflik lahan terutama petani swadaya. Masalah ini terjadi secara vertical
yaitu masalah antara petani dengan petani atau petani dengan perusahaan
perkebunan, kemudian secara horizontal yaitu berbenturan dengan areal hutan. Masalah
ini meyebabkan penjualan di Uni Eropa menjadi masalah kerena negara-negara
disana meminta produk kelapa sawit yang bersih dari masalah lingkungan.
Oleh
sebab itu maka Indonesia atas permintaan pasar ingin meciptakan (sudah berjalan
dari tahun 2011-an) perkebunan yang sustainable.
Beberapa NGO juga turut andil dalam hal ini, hasil dari seminat tersebut
menunjukkan NGO seperti SETARA, SNV, WWF, JIKALAHARI, WALHI serta SCALE-UP
berkontribusi dalam hal ini. Konstribusi yang mereka berikan diantaranya adalah
pemetaan realita di lapangan, pemetaan lahan pada beberapa daerah, bantuan
dalam menangani masalah sertifikasi, memberikan saran kepada stake holder.
Dari
seminar tersebut juga saya baru tahu ternyata APKASINDO mempunyai divisi IT dan
Litbang yang bekerja dalam pemetaan dan melakukan riset mendalam mengenai beberapa
problem yang dihadapi petani terutama petani swadaya. Menurut bapak Riadi
Mustofa, S.E., M.Si (pak Bowo) saat ini terdapat lahan dengna luas wilayah 1.972.699
Ha di Provinsi Riau yang berpotensi konflik secara vertical maupun secara
horizontal. Hal ini terjadi karena masyarakat membutuhkan lahan namun peta
lahan dan keperuntukkannya kurang jelas sehingga dapat meningkatkan konflik. Seharusnya
dengan adanya peta yang real (sah) daoat digunakan untuk assessment dalam
mengatasi konflik dan menjadi kepastian hukum. Banyak bantuan yang diberikan
pemerintah kepada petani, namun karena lahan yang dikelola oleh masyarakat
masuk kedalam wilayah hutan menjadikan msalah bagi masyarakt untuk mendapatkan
bantuan tersebut.
Kehadiran
BPDP-KS pada seminar tersebut membuka mata para petani yang hadir, diaman
BPDP-KS memberikan ketarangan bahwa mereka hadir untuk membantu petani dalam
hal bantuan dana untuk untuk riset, pengembangan SDM, promosi perkebunan,
advokasi, pengembangan usaha dan lainnya. Dukungan strategis yang sedang
dijalankan adalah replanting, peningkatan produksi, pencegahan pembakaran
hutan, dan berbagai hal lainnya yang sedang digodog oleh BPDP-KS yang
berkonsultasi dengan berbagai pihak terkait.
Info
penting lainnya dalam seminar ini adalah info dari Dr. Ermanto Fahamsyah
(Akademisi dari IPB) yang menyampaikan bahwa lahan di Indonesia yang sesuai
untuk budidaya kelapa sawit adalah 24.878.579 Ha dan belum tergunakan secara
maksimal. Perkebunan kelapa sawit mempunyai kelebihan lain, dimana produksi
tinggi dan juga nilai tambah yang baik. Selama ini kelapa sawit memiliki
tantangan dimana belum menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan sehingga
akhir-akhir ini banyak disuarakan pengembangan kelapa sawit berkelanjutan. Indonesia
telah menjadi pengekspor kelapa sawit terbesar, namun belum menggunakan
perkebunan berkelanjutan. Sehingga pemerintah berinisiatif untuk melakukan ISPO
yang dimulai tahun 2011 sampai saat ini. Sampai saat ini sudah 342 perusahaan
dan 3 KUD yang mendapat ISPO.
Amin
Nugroho dari APKASINDO menyampaikan adanya perbedaan harga jual yang menurun
sekitar 400 rupiah dibanding dengan petani mitra, kerugian ini dalam sekala
besar berjumlah triliunan. Agar petani tidak mengalami kerugian yang besar
tersebut, maka dapat direncanakan pembuatan supermill mini bagi kelompok tani.
Sehingga petani langsung menjual CPO ke perusahaan dan mendapat keuntungan yang
lebih dibanding saat ini. Namun rencana ini harus dikaji secara matang sehingga
tidak merugikan berbagai pihak.
Sebenarnya
dalam seminar ini banyak disampaikan uneg-uneg dari petani yang hadir dimana
masalah utamanya adalah lahan yang dikelola petani termasuk dalam kawasan
hutan, namun permasalahan utamanya adalah pemerintah belum melakukan penetapan
kawasan hutan yang jelas sehingga menjadi masalah bagi masyarakat. Kawasan hutan
masih menggunakan penetapan lama dan tidak jelasnya tata batas hutan dengan
kasawasan lainnya menjadi masalah serius bagi petani swadaya. Selain itu
banyaknya NGO yang melakukan black campaign yang berimbasnya kepada kelapa
sawit yang menjadi tumpuan mata pencarian masyarakat. Dalam seminar ini banyak
pertanyaan masyarakat mengenai penyelesaian masalah mengenai lahan yang
digunakan saat ini. Hasil yang diperoleh dari seminar ini yaitu adanya
permintaan kerjasama antara beberapa NGO dengan masyarakat dalam melakukan
pemetaan dan adanya kerjasama APKSINDO dengan Asuransi Jiwasraya dalam
mengasuransikan petani untuk melakukan replanting tanaman kelapa sawit
kedepannya. Namun untuk masalah yang lebih besar seperti masalah tata lahan
hutan dan sebagainya membutuhkan pertemuan dengan berbagai stake holder.
Mungkin
bagi beberapa pihak seminar ini belum atau bahkan tidak memberikan solusi, tapi
bagi saya yang pada awalnya belum mengetahui informasi yang ada seperti ini,
menjadikan seminar ini sebagai sarana dalam menambah wawasan serta paling
tidaknya dapat memberikan informasi bagi petani untuk mencari solusi permasalahan
terutama dalam pemetaan wilayah sebagai pegangan untuk melakukan negosiasi
dengan pihak yang bermasalah dalam pengelolaan lahan perkebunannya. Selain itu
dengan hadirnya berbagai pihak terkait seperti NGO, Perusahaan, Perwakilan
BPDP-KS serta pihak lainnya dapat memberikan informasi bahwa permasalah yang
dialami oleh petani ternyata beragam, sehingga dapat memberikan masukan dalam
membuat keputusan kedepannya.
Sedikit
berbagi mateti yang disampaikan oleh pemateri bisa di download disni
mohon
tidak disalah gunakan, jadikan bahan untuk menambah pengetahuan. Semoga bermanfaat
dan berguna bagi kita semua.